Friday, 4 January 2019

Materi dalam Membacakan Puisi



Beberapa hal yang harus dipahami ketika akan membacakan puisi, yaitu mengetahui cara membacanya. Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan.
(1) Rima dan irama, artinya dalam membaca puisi tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Membaca puisi berbeda dengan membaca sebuah teks biasa karena puisi terikat oleh rima dan irama sehingga dalam membaca puisi tidak terlalu cepat ataupun juga terlalu lambat.
(2) Artikulasi atau kejelasan suara, artinya suara kita dalam membaca puisi harus jelas, misalnya saja dalam mengucapkan huruf-huruf vokal /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ai/, /au/.
(3) Ekspresi mimik wajah, artinya ekspresi wajah kita harus bisa disesuaikan dengan isi puisi. Ketika puisi yang kita bacakan adalah puisi sedih, maka ekspresi mimik wajah kitapun harus bisa menggambarkan isi puisi sedih tersebut.
(4) Mengatur pernapasan, artinya pernapasan harus diatur jangan tergesa-gesa. Sehingga tidak akan mengganggu ketika membaca puisi.


(5) Penampilan, artinya kepribadian atau sikap kita saat di panggung usahakan harus tenang, tak gelisah, tak gugup, berwibawa, dan meyakinkan (tidak demam panggung).
(6) Selain hal-hal di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan membacakan puisi yaitu sebagai berikut.
(a) Vokal

Suara yang dihasilkan harus benar. Salah satu unsur dalam vokal ialah artikulasi (kejelasan pengucapan). Kejelasan artikulasi dalam mendemonstrasikan puisi sangat perlu. Bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ai/, /au/, dan sebagainya harus jelas terdengar. Demikian pula dengan bunyi-bunyi konsonan.


(b) Ekspresi
Ekspresi ialah pengungkapan atau proses menyatakan yang memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, dan perasaan. Ekspresi mimik atau perubahan raut muka harus ada, namun harus proporsional, sesuai dengan kebutuhan menampilkan gagasan puisi secara tepat.


(c) Intonasi (tekanan dinamik dan tekanan tempo)
Intonasi ialah ketepatan penyajian dalam menentukan keras-lemahnya pengucapan suatu kata. Intonasi terbagi menjadi dua yaitu tekanan dinamik (tekanan pada kata-kata yang dianggap penting) dan teknanan tempo (cepat lambat pengucapan suku kata atau kata).
Setelah kamu memahami langkah-langkah di atas dalam mendemonstrasikan puisi, dan untuk mendukung cara pembacaaannya, kita dapat menggunakan teknik-teknik sebagai berikut.
1.      Membaca dalam hati puisi tersebut berulang-ulang.
2.      Memberikan ciri pada bagian-bagian tertentu, misalnya tanda jeda. Jeda pendek dengan tanda (/) dan jeda panjang dengan tanda (//). Penjedaan panjang diberikan pada frasa, sedang penjedaan panjang diberikan pada akhir klausa atau kalimat.
3.      Memahami suasana dan menghayati, tema, dan makna puisinya.
4.      Menghayati suasana, tema, dan makna puisi untuk meengekspresikan puisi yang kita baca.



Sajak Matahari
Karya: W.S. Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin!
kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu!
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.

Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.


Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia!
Yogya, 5 Maret 1976
(Sumber: Antologi Puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, 1980)


Perhatikanlah contoh puisi (setelah diberikan tanda jeda) berikut ini!
Matahari bangkit/ dari sanubariku//
Menyentuh permukaan/ samodra raya.//
Matahari keluar dari mulutku,/
menjadi pelangi di cakrawala.//
Wajahmu keluar/ dari jidatku,//
wahai kamu,/ wanita miskin!//
kakimu terbenam/ di dalam lumpur.//
Kamu harapkan beras/ seperempat gantang,//
dan di tengah sawah/ tuan tanah menanammu!//
Satu juta lelaki gundul/
keluar dari hutan belantara,//
tubuh mereka terbalut lumpur/
dan kepala mereka berkilatan/
memantulkan cahaya/ matahari.//
Mata mereka menyala/

tubuh mereka menjadi bara/
dan mereka membakar dunia.//
Matahari adalah cakra jingga/
yang dilepas tangan/ Sang Krishna.//
Ia menjadi rahmat/ dan kutukanmu,/
ya,/ umat manusia!//

Sajak Anak Muda Karya W. S. Rendra


Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika.
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua ?
Apakah kita hanya dipersiapkan
untuk menjadi alat saja ?
inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
Bukan pertukaran pikiran.
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan.
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai.
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai
tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapak-bapak kita.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
Untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
Kita hanya menjadi alat birokrasi !
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan -
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap.
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan

Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran.
Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
Apakah ini ? Apakah ini ?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan.
Mengapa harus kita terima hidup begini ?
Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada ada tirani merajalela,
ia diam tidak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
Kita adalah angkatan gagap.
Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977

Biografi George Saa, Si Jenius dari Papua


Ia dikenal sebagai Sang Jenius dari Papua. Ia lahir di Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindah-pindah mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orang tua. Dia adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Indonesia. Makalahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resisto. Rumus penghitung hambatan antara Dua Titik Rangkaian Resistor yang ditemukannya diberi namanya sendiri yaitu “George Saa Formula.

Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to Nobel Prize in Physic yang mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol emas.
Oge (nama panggilan george) lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, mengolah ladang dan menanam umbi-umbian. Kelima anak Silas mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala itu.

Apulena Saa, puteri sulung Silas, mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana Kehutanan lulusan Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini tengah menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa, putera ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Agustinus Saa, putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional. “Semua anak Mama tidak manja dengan uang, sebab kami tidak punya uang,” tutur Mama Nelc.
Ia bertutur, karena minimnya ekonomi keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik “taksi” (angkutan umum) dengan ongkos Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi. “Tidak bisa jajan. Untuk naik “taksi” saja Mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau makan harus pulang ke rumah,” katanya.
Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini adalah orang yang haus belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika yang menurut sebagian anak muda ini mengapa bukan semata-mata karena ia menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.

“Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak ada alasan khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya,” katanya. “Semua mata pelajaran di sekolah, saya suka kecuali PPKn (Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan). Pelajaran itu membosankan dan terlalu banyak mencatat. Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,” tambahnya.
Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia.
Kebrilianan otak mutiara hitam dari Timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada tahun 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah. Oleh karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun, mamanya melarang putera bungsunya berangkat ke Ibu kota.

Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan kenekatan. Dengan dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat. Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah Papua.

Oge kemudian membuktikan bahwa kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi tangis haru ketika November 2003 ia menduduki peringkat delapan dari 60 perserta lomba Matematika Kuantum di India. Prestasinya memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak pernah menangis lagi. “Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,” kata dia.
Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah gagasan orisinilnya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan jempolan.

Setelah menerima penghargaan itu, George mendapat banyak fasilitas. Menteri Pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar. George sempat bingung memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, mendatangi dirinya. ‘’Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,’’ ungkap pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.
Freedom Institute menawari George kuliah di luar negeri. Ia boleh memilih negara mana pun. Mau di benua Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah, tetapi juga uang saku dan biaya hidup. Pria penghobi basket itu sempat bingung memilih negara.
Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan Aerospace Engineering di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).

Di jurusan aerospace engineering alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science.

‘’Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don’t need rocket science to figure it out,’’ katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang lulus. George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.
Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi Presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya.
‘’Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,’’ tegasnya.
Tahun pertama di Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. ‘’Saya hanya duduk dan diam selama sejam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris,’’ tuturnya.

Oleh karena itu, tahun pertama, George tak langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. ‘’Saya mempelajari lagi grammar dan kosakata,’’ jelas anak bungsu pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu. George lulus pada akhir 2009.
Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. ‘’Tiga minggu ini aku di Jakarta. Nanti ke laut lagi,’’ katanya.




Sumber:
buku siswa / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.-- Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. xiv, hlm 284. : ilus. ; 25 cm. Untuk SMA Kelas XISBN (jilid lengkap)ISBN (jilid 3)1 Bahasa Indonesia – Studi dan Pengajaran.