Wednesday, 2 October 2013

Keegoisan masih merajaii…

Coba deh pikir…
Pikir dengan pikiran bersih,
Kebaikan ini apa masih kurang?
Aku diam,
Tapi aku tak perlu meneteskan air mata.
Aku diam,
Tapi bukan berarti aku tidak kecewa,
Tapi bukan berarti aku tidak merasa sedih.

Manusiawi kan bila aku kecewa?
Manusiawi kan bila aku sedih?
Kesedihanmu hari ini tidak akan mampu menandingi kesedihanku di hari yang lalu…
Mana yang egois?
Aku atau kamu?

Bukan sekali ini kamu begini,,
Tapi beberapa kali tetap kamu ulangi…
Maaf bukan kamu yang salah, tapi orang-orang yang telah aku beri kebaikanlah yang salah.
Aku sudah terlalu baik menebarkan kebaikan,
Tapi saat aku butuh orang lain,
Tak satupun yang mau tau bahwa aku terkapar dengan sedikit kesadaran..
Jadi begini balasannya..?

Tak bisa diterima oleh akal manusia manapun.

Bagai mata yang terpapar debu dan matahari...

Ternyata ada benarnya bahwa sekarang ini hidup sudah berjalan dengan individu masing-masing.
Mereka lupa bahwa dirinya makluk social yang tetap butuh orang lain.
Baiklah, ini yang aku dapatkan. Iya, hanya ini yang aku dapatkan….
Mana pepatah orang tua yang bilang bila kita menuai kebaikan maka akan memperoleh kebaikan juga?
Aku berusaha untuk tetap apik menjadi makluk social. Tapi ketika aku butuh orang lain, tak satupun yang peduli. Bahkan orang-orang terdekat yang ada di sekelilingku..
Tubuh ini menggigil dengan sejuta pengharapan. Namun, tetap saya berdiri di kaki sendiri, tertatih mencari kebaikan..
Aku tidak pernah percaya tentang apa yang telah terjadi padaku baru-baru ini. Aku tidak pernah juga menyangka akan seperti ini.
Inikah balasannya?

Dan aku bila semakin tersudut dalam keadaan ini, barangkali bisa lebih kejam dari apa yang telah mereka lakukan.

Thursday, 16 May 2013

Untuk review hati



Peristiwa tadi “16 5 2013” skitar pukul empat – lima.



Kamu tau aku kesal, aku kecewa?
Semenjak semalam telah kau kecewakan. Padahal tempo hari dirimu sudah berjanji untuk tidak mengecewakanku seperti yang dulu-dulu.
Paginya kau ulangi hal yang sama, siangnya juga tetap sama saja. Hingga sore kuluapkan amarah. Dan bukan dirimu menenangkan hati. Tapi justru dirimu menyulutkan api amarah juga.
Kamu itu bandel, susah sekali dinasihati.
Gag mau diurus. Sampe aku lelah.
Kamu sakit? Aku tau. Aku juga ttep ngurusin kamu. Klo aku gag bs secara langsung toh aku selalu mengingatkanmu, merekomendasikan obat untuk kesembuhanmu.
Kamu tau nggak, meskipun kamu sering mengecewakanku tapi aku masih tetap menjaga kehormatanmu dimata teman-temanku, orang-orang terdekatku.
Cukup aku yang tau segala keburukan dan kekuranganmu. Cukup aku yang menelan pil pahit ini. Dan orang lain hanya perlu tau kebaikanmu di mataku. Aku j masih menjaga hatimu. Tapi kau tidak bisa bersikap seperti aku kah?
“Kamu itu,,, orang paling keras kepala  dan paling sulit yang aku kenal. Tapi kalau aku harus mengulang hidupku lagi, aku akan tetap memilih kamu” (Ainun, Habibie & Ainun).

Sunday, 12 May 2013

HARGA DIRI "HARGA MATI" epsd I


Sekarang manusia telah dibodohi oleh dirinya sendiri.
Tak bisa membedakan mana teman mana lawan.
Tak bisa membedakan profesi dengan persahabatan, mana pekerjaan mana kawan.
Dunia sepertinya sudah diambang kehancuran.
Tak bisa membedakan mana teman, mana pacar, mana suami/istri.
Tak mampu juga membedaka mana rumah, mana villa, mana hotel dan mana kosan.
Matanya buta oleh keegoisan.
Dunia seraya dipersempit, sesempit hati kecilku.
Yang kian hari tak dianggap, yang kian hari tak dihargai dan tak dimerngerti.
Yang semakin sempit ini rasanya etika dan moral jiwa manusia semakin dipersempit. Tak tau batasan mana yang pantas dan mana yang tak pantas.
Memampakkan diri yang tak bermoral dihadapan khalayak umum sudah tak malu lagi.
Terputus sudah urat-urat manusia yang islami.
Menjadi seorang yang merusak hati orang lain, yang awalnya simpati dan bahagia menjadi timbul rasa benci dan sangat benci.

Kini mulut manis yang bersua mengharap belas kasihan dan memohon maaf tiada artinya lagi.
Hina sudah mulutmu itu.
Memunculkan dosa pada pikiranku yang kian muak dengan segala tipu daya yang kau lakukan.
Sadari itu, ingat Tuhanmu, ingat temanmu, dan ingat sekelilingmu atau lingkunganmu.

Saturday, 11 May 2013

Penyuluhan Bahasa "Wacana"


PENYULUHAN BAHASA

“WACANA”
Dosen Pengampu : Frieska Maryofa, S.Pd., M.Pd.
 Oleh:
Kelompok 7 BINA VI C
1.      ADE TATI HIDAYATI           101210003
2.      AFRIASINTA                                    101210004
3.      ANDRE SETIAWAN                        101210017               
4.      KIKI UTARI
5.      RYANDA
6.      SUSI SETIAWATI               




SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
STKIP PGRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2012/2013


KATA PENGANTAR

              Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa, berkat rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya serta usaha yang telah penulis lakukan maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Penyuluhan Bahasa tentang Wacana”.
Makalah ini berisi pembahasan tentang pengertian wacana, jenis-jenis wacana, konteks wacana, kohesi dan koherensi, tema, topic, dan judul dalam wacana, referensi dan inferensi kewacanaan, serta schemata representasi pengetahuan.


Bandar Lampung,   Mei 2013

Penulis








DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................            i
Daftar Isi.......................................................................................................           ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................           1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................           1
1.3 Tujuan......................................................................................................           2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wacana..................................................................................           3
2.2 Jenis-Jenis Wacana...................................................................................           4
2.3 Konteks Wacana......................................................................................           8
2.4 Kohesi dan Koherensi..............................................................................         11
2.5 Topik, Tema, dan Judul...........................................................................         16
2.6 Referensi dan Interferensi Kewacanaan..................................................         20
2.7 Skemata: Representasi Pengetahuan........................................................         21
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

 BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah

Penyuluhan bahasa bagi seorang mahasiswa khususnya pada program studi Bahasa dan Sastra Indonesia sangat diperlukan. Penyuluhan bahasa dapat dilihat dari segi fonologi, morfologi, sintaksis hingga wacana.

Dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai wacana yang secara notabene adalah bagian hierarki tertinggi dari struktur bahasa sebab calon guru yang mengenyam pendidikan diharapkan memiliki bekal dalam pengajaran khususnya wacana.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang penyuluhan bahasa pada bagian wacana yang dapat menjadi referen mahasiswa agar terukur sejauh mana pengetahuan yang akan menjadi bekal di dalam mengajar.

1.2       Rumusan Masalah
Masalah dalam makalah dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1        Apa pengertian wacana?
1.2.2        Sebutkan jenis-jenis wacana?
1.2.3        Bagaimanakah konteks wacana itu?
1.2.4        Bagaimanakah kohesi dan koherensi dalam wacana?
1.2.5        Apakah tema, topic, dan judul dalam wacana?
1.2.6        Bagaimanakah referensi dan inferensi kewacanaan?
1.2.7        Apakah schemata dari representasi pengetahuan?




1.3      Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1        Agar mahasiswa mengetahui definisi wacana.
1.3.2        Agar mahasiswa mengetahui jenis-jenis wacana.
1.3.3        Agar mahasiswa mengetahui konteks wacana.
1.3.4        Agar mahasiswa mengetahui kohesi dan koherensi dalam wacana.
1.3.5        Agar mahasiswa mengetahui topic, tema dan judul dalam wacana.
1.3.6        Agar mahasiswa mengetahui referensi dan inferensi kewacanaan.
1.3.7        Agar mahasiswa mengetahui schemata representasi pengetahuan.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Wacana

Menurut Abdul Chaer, wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya (kohesi dan koherensi).Kekohesian adalah keserasian hhubungan antar unsur yang ada. Wacana yang kohesif bisa menciptakan wacana yang koheren (wacana yang baik dan benar).

Harimurti Kidalaksana mengungkapkan wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Namun, dalam realisasinya wacana dapat berupa karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frase, bahkan kata yang membawa amanat lengkap.

Jusuf Syarif Badudu mendefiniskan wacana sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.

Dari uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.  

2.2       Jenis – Jenis Wacana

Leech mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut ini;
·         Wacana ekspresif
Yaitu apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;
·         Wacana fatis
Yaitu apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;
·         Wacana informasional
Yaitu apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa;
·         Wacana estetik
Yaitu apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;
·         Wacana direktif
Yaitu apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.





Berdasarkan sifatnya, Moeliono, dkk. (1988:335) membedakan wacana atas dua jenis, yaitu:
ü  Wacana Interaksi.

Wacana interaksi merupakan wacana yang mementingkan hubungan timbal-balik.
ü  Wacana Transaksi.
Wacana transaksi adalah wacana yang menekankan isi.

Kedua wacana ini dapat berwujud lisan maupun tulisan. Wacana lisan yang bersifat interaksi dapat dilihat dalam tanya jawab antara dokter dengan pasien, polisi dengan tersangka, atau jaksa dengan terdakwa. Wacana tulis yang bersifat interaksi dapat berupa, antara lain: polemik, surat menyurat dua kekasih. Lain halnya dengan ceramah, pidato, dakwah, kuliah, semua itu merupakan contoh wacana lisan yang transaksi. Di sisi lain, instruksi, pemberitahuan, pengumuman, iklan, surat cinta, makalah, cerpen adalah contoh wacana tulis yang bersifat transaksi. Lebih lanjut dikatakan bahwa apa pun bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa dan pesapa. Dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara dan pesapa adalah pendengar, sedangkan dalam wacana tulisan, penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca.

Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas;
Ø  Wacana Lisan.
Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara
Ø  Wacana Tulis.
Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.

Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural.
Adapun macam-macam wacana dilihat dari sudut tujuannya, yakni:
1.      Eksposisi
Wacana ini digunakan oleh penulis untuk memberikan informasi kepada pembacanya. Begitu juga dengan pembaca menggunakan wacana ini untuk mencari informasi yang di inginkannya.
2.      Argumentasi
Ditinjau dari sudut penulis karangan jenis ini ditulis untuk meyakinkan pembaca terhadap suatu kebenaran. Efek lebih lanjut karangan ini dapat mempengaruhi perilaku para pembacanya walaupun sebenarnya wacana yang ditulis tidak bermaksud untuk mempengaruhi orang lain. Sebaliknya, pembaca menggunakan wacana atau karangan ini untuk mencari tau kebenaran dari suatu hal yang mungkin lebih dikuasai oleh penulis.
3.      Persuasi
Persuasi adalah bentuk karangan yang hampir sama dengan argumentasi. Wacana persuasi berusaha mempertahankan suatu kebenaran dalam pembahasannya. Walaupun tidak seratus persen mempertahankan kebenaran, bentuk wacana ini masih termasuk dalam wacana ilmiah, bukan wacana fiksi. Wacana ini juga dilengkapi dengan pendapat penulisnya sehingga dapat mempengaruhi pembaca/pendengar sehingga mereka tertarik untuk mencoba, membeli, atau memakai produk tertentu.
4.      Deskripsi
Wacana deskripsi adalah wacana yang ditulis untuk menggambarkan sesuatu kepada pembaca. Biasanya wacana deskripsi ini tidak berdiri sendiri melainkan memperkuat wacana lainnya.

5.      Narasi
Wacana narasi ini ditulis untuk menceritakan pada orang lain kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang dialami sendiri maupun yang didengarnya dari orang lain. Dengan cara ini, penulis/pembicara memenuhi pula kebutuhan para pendengar atau pembacanya untuk memperoleh cerita tentang kejadian itu. Perlu dicatat bahwa ciri khas wacana ini adalah kronologisnya. Artinya, sebuah cerita dari awal hingga akhir atau sebaliknya diceritakan secara runut atau dengan urutan waktu tertentu.

Berdasarkan cara penuturannya, wacana digolongkan menjadi:
o   wacana pembeberan (expository discourse)
Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis.

o   wacana penuturan (narrative discourse).
Wacana penuturan adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.

Tarigan (1987: 51-61) mengklasifikasi wacana berdasarkan empat aspek, yaitu tertulis atau tidaknya wacana, langsung atau tidaknya wacana, cara penuturan wacana dan bentuk wacana. Berdasarkan tertulis tidaknya wacana, dikenal wacana tulis dan wacana lisan. Wacana yang pertama mengacu pada wacana yang disampaikan secara tertulis atau melalui media tulis dan untuk memahaminya diperlukan kegiatan membaca. Wacana yang kedua mengacu kepada wacana yang disampaikan secara lisan atau melalui media lisan dan untuk memahaminya diperlukan kegiatan menyimak. Ditinjau dari langsung tidaknya penyampaian wacana, ada wacana langsung dan wacana tak langsung. Wacana langsung (direct discourse) adalah kutipan wacana yang dibatasai oleh intonasi atau pungtuasi, sedangkan wacana tak langsung (indirect discourse) adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara utuh atau harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan menggunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, misalnya dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.

2.3       Konteks Wacana

Menurut Halliday dan Hasan (1985:5) yang dimaksudkan konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan tuliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu. 
Wacana akan terbentuk apabila digunakan konteks yang tepat, dengan memperhatikan:
      Siapa penulis kalimat itu,
      Siapa pembaca yang akan membaca kalimat itu,
      Dimana tempatnya, dan
      Kapan digunakan.

Konteks mengacu pada interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar atau pembaca. Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi perbedaan pemahaman antara penutur dan pendengar maupun penulis dan pembaca. Hal itu terjadi karena apa yang disampaikan oleh penutur sering memiliki maksud yang lebih dari sekedar makna kata-kata itu sendiri.

v  Unsur-unsur Konteks Wacana

Menurut Anton M. Moeliono dan Samsuri, konteks terdiri atas beberapa hal, antara lain: situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam hal ini, Dell Hymes merumuskan dengan baik melalui akronim SPEAKING yang tiap-tiap fonemnya mewakili faktor penentu yang dimaksudkan. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Latar (Seting and Scene).
Setting lebih bersifat fisik yang mengacu pada tempat dan waktu terjadinya percakapan. Sedangkan scene merupakan latar psikis yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tuturan;
b.      Peserta (Participants).
Peserta yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik secara langsung maupun tidak langsung;
c.       Hasil (Ends).
Hasil mengacu pada tujuan akhir dan tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur;
d.      Amanat (Act Sequence).
Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat;
e.       Cara (Key)
Cara mengacu pada pelaksanaan percakapan, misalnya dengan cara bersemangat, santai, maupun tenang  yang meliputi nada dan sikap;
f.       Sarana (Instrumentalitis).
Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat mengacu pada pemakaian bahasa, apakah secara lisan atau tertulis;
g.      Norma (Norm).
Norma mengacu pada aturan-aturan perilaku peserta percakapan, misalnya diskusi yang cenderung bersifat dua arah, sedangkan pidato cenderung satu arah. Aturan yang membatasi percakapan, seperti bagaimana cara membicarakannya;
h.      Jenis (Genre).
Jenis mengacu pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya wacana koran dan wacana puisi.



Imam Syafei menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan saksama, konteks terjadinya suatu percakapan terdiri dari empat macam, yaitu.
  1. Konteks linguistik, yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan;
  2. Konteks epistemis, yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan;
  3. Konteks fisik, yaitu tempat terjadinya percakapan dan objek yang disajikan dalam percakapan;
  4. Konteks sosial, yaitu relasi sosial yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam suatu percakapan.

Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat diperinci untuk memberi tanda keterangan bagi kepentingan dan hubungan dengan pembicara yang memperkenalkannya pada percakapan tersebut. Rincian tersebut antara lain:
  1. Perinci fisik, yang dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, dan binatang secara fisik. Contoh: gadis yang berambut panjang itu telah menawan hatinya;
  2. Perinci emosi, yaitu makna feeling di dalam semantik yang berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan. Contoh: gadis cantik yang mungil itu duduk bersimpuh di atas permadani;
  3. Perinci tindakan, hal ini mengacu pada ragam tindakan yang dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalam di dalam konteks wacana. Contoh: anak kecil yang sedang bermain itu, kemarin jatuh dari sepeda;
  4. Perinci campuran, hal ini terjadi antara perincian emosional dan perbuatan, fisik, dan perbuatan, atau fisik dan emosional Contoh: Safira yang sedang membaca surat itu berbaju putih dengan bunga-bunga merah jambu, sungguh mencerminkan wajah yang cerah. Safira anak yng cantik dan pintar itu menjadi anak kesayangan orang tuanya.

Selain unsur yang telah disebutkan adalah perincian yang melibatkan orang dalam masyarakat karena perannya yang relevan bagi isi konteks. Perhatikanlah kemunculan seorang tokoh masyarakat pada wacana: Gubernur bank Indonesia, Adrianus Mooy mengemukakan hal itu kepada pers Indonesia di Hongkong, di sela-sela kesibukannya mengikuti Sidang tahunan Asean Development Bank (ADB) ke-25.

Unsur antarwacana atau ko-teks penting pula dalam menentukan penafsiran makna. Pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain, misalnya tulisan yang digantungkan orang di lorong akhir suatu jalan kampung bertuliskan Terima Kasih, wacana itu jelas-jelas wacana potongan yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung yang bertuliskan Jalan pelan-pelan! Banyak anak-anak.


2.4       Kohesi dan Koherensi

Kohesi dan koherensi adalah dua unsur yang menyebabkan sekelompok kalimat membentuk kesatuan makna. Kohesi merupakan hubungan pengaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana (Hasan Alwi, 2003: 427).

Kohesi mengacu pada keterkaitan makna yang menghubungkan suatu unsur dengan unsur sebelumnya dalam teks apabila interpretasi sejumlah unsur dalam sebuah teks tergantung pada unsur lainnya.

Kohesi secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua.
Pertama, berdasarkan pilihan bentuk yang digunakannya, antara lain.
a.   Kohesei gramatikal, yaitu hubungan kohesif yang dicapai dengan penggunaan elemen dan aturan gramatikal, meliputi referensi, substitusi, dan elipsis;
b.      Kohesi leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan kosakata.

Kedua, berdasarkan asal hubungannya, kohesi diklasifikasi lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu.
a.         Keterkaitan bentuk yang meliputi substitusi, elipsis, dan kolokasi leksikal;
b.         Keterkaitan referensi yang meliputi referensi dan reiterasi leksikal;
c.         Hubungan semantik yang diperantai oleh konjungsi.

Menurut Untung Yuwono dalam bukunya yang berjudul Pesona Bahasa menyatakan bahwa kohesi tidak datang dengan sendirinya, tetapi diciptakan secara formal oleh alat bahasa yang disebut pemarkah kohesi, misalnya kata ganti, kata tunjuk, kata sambung, dan kata yang diulang. Pemarkah kohesi yang digunakan secara tepat menghasilkan kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.
v  Kohesi leksikal adalah hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata yang dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi. Reiterasi adalah pengulangan kata-kata pada kalimat berikutnya untuk memberikan penekanan bahwa kata-kata tersebut merupakan fokus pembicaraan. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi, dan antonimi. Sedangkan kolokasi adalah hubungan antarkata yang berada pada lingkungan atau bidang yang sama. Contohnya, [petani] di Lampung terancam gagal memanen [padi]. [sawah] yang mereka garap terendam banjir selama dua hari.
v  kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal, yaitu alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi gramatikal dapat berwujud referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui ada lima macam peranti kohesi, yaitu referensi, substitusi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal.
·         Referensi adalah hubungan antara satuan bahasa, benda, atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa tersebut. Contohnya, aku suka [kucing], dan aku juga suka [kelinci]. [itulah] kesukaanku. Secara sintaktis dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia referensi unsur kalimat dimarkahi oleh pewatas berikut ini.
a.       Artikula: si, sang, dan yang;
b.      Demonstrativa: ini, itu, sini, sana, dan situ;
c.       Pronomina: saya, kami, mereka, -ku, -mu, dan -nya;
d.      Numeralia: satu, kedua;  
e.       Nama diri: Tian, Ulva, Rizky;
f.       Nomina pengacu: Bapak, Ibu, Saudara.

·         Substitusi adalah penggantian item tertentu dengan item yang lain. Contohnya, [Ahmad] datang menagih lagi. [orang itu] benar-benr tidak tahu malu. Elipsis adalah penghilangan item tertentu. Contohnya adalah sebagai berikut.
Rina     : [Apakah adikmu akan lulus ujian?]
Rani     : Saya harap [begitu].

·         Konjungsi tercipta secara tidak langsung melalui keberadaannya yang memberikan makna tertentu bagi hubungan antarelemen dalam teks. Contohnya, Ayah bekerja [dan] adik sekolah. Kohesi leksikal adalah kohesi yang dibangun melalui hubungan antarkata berisi, yaitu berupa reiterasi leksikal dan kolokasi. Reiterasi leksikal mencangkup pemanfaatan seluruh jenis relasi leksikal, misalnya repetisi, penggunaan sinonimi, superordinat, antonimi, komplementer, dan relasi leksikal lainnya.

Alwi menyatakan bahwa kohesi dapat dicapai melalui delapan peranti.
Pertama, penggunaan konjungtor yang menunjukan relasi makna antarbagian dalam teks. Konjungtor tersebut antara lain.
a.    Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun. Contohnya, Ayah Ulva setuju ia ke Bandung, [tetapi] ibunya melarangnya pergi;
b.     Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor bahkan. Contohnya, Rizky menggelar acara ulang tahun, [bahkan] presiden SBY pun turut menghadirinya;
c.     Pengecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali. Contohnya, Pak Legi tidak pernah merokok [kecuali] bila ada tamu;
d.      Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun. Contohnya, Perempuan itu sangat dicintainya [walaupun] hal itu tidak pernah diucapkannya;
e.  Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya. Contohnya, Toni belajar giat sekali semester ini [agar] ia dapat menyelesaikan studinya akhir tahun ini.

Kedua, pengulangan kata atau frasa, baik secara utuh ataupun sebagian, misalnya [Nenek] membelikan adik kucing. [Nenek] memang tahu adik suka kucing.

Ketiga, penggunaan bentuk leksikal lain yang maknanya berbeda dengan makna kata yang diacunya tetapi memiliki acuan yang sama, misalnya [putri penyair kenamaan itu] makin besar saja. [Gadis itu] sekarang duduk di sekolah menengah.

Keempat, penggunaan bentuk lain yang tidak mengacu ke acuan yang sama  tetapi berhubungan, misalnya tetangga kami mempunyai [kucing Persia]. Dokter Sukartono mempunyai [seekor juga].

Kelima, penggunaan hubungan anaforis dan kataforis. Hubungan anaforis adalah hubungan antara pronomina yang mengacu kembali ke antesedennya. Contohnya, [Sigit] membeli sepeda baru, dan dengan sepeda[-nya] itu Amir diajak menelusuri kota Tangerang. Sedangkan hubungan kataforis adalah hubungan antara pronomina dengan anteseden yang mengikutinya. Contohnya, Dengan motor[-nya] itu, [Bu Tian] menelusuri kota Ciputat.

Keenam, penggunaan hubungan metaforis, yaitu penggunaan kata atau frasa untuk menyatakan sesuatu yang mempunyai persamaan sifat dengan benda atau hal yang biasa dinyatakan oleh kata atau frasa tersebut. Contohnya, [Orang sebodoh Gayus] belum pernah aku jumpai, tetapi [keledai] itu benar-benar menjengkelkan sekali.

Ketujuh, elipsis, misalnya anak pak Hasan [hari ini ujian SPMB], dan [adik saya juga].

Kedelapan, hubungan leksikal yang meliputi hiponimi. Contohnya, Jangankan [mebel], satu [kursi] pun saya tak punya.

Koherensi adalah hubungan semantis yang mendasari sebuah wacana. Hubungan tersebut dihasilkan oleh sesuatu di luar teks. Sesuatu tersebut biasanya merupakan pengetahuan yang diasumsikan telah dimiliki pendengar atau pembaca.
Koherensi merupakan keberterimaan suatu tuturan atau teks karena kepaduan semantisnya. Koherensi juga mengaitkan dua proposisi atau lebih, tetapi keterkaitan di antara proposisi-proposisi tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang dipakai. Contohnya adalah sebagai berikut.
Kakak  : Angkat telepon itu, Dik!
Adik    : Aku sedang mandi, Ka!
Kakak  : Oke!

Perkaitan antarproposisi tetap ada walaupun pada kalimat tersebut tidak secara nyata ditemukan unsur-unsur kalimat yang menunjukan adanya pengaitan gramatikal. Kalimat yang diucapkan oleh adik dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi Ka! (Jadi aku tidak dapat menerima telepon itu), sementara Oke! yang diucapkan oleh kakak dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Oke! Kalau begitu, aku saja yang menerimanya.

Koherensi pada dasarnya adalah kontinuitas dan pengulangan elemen tertentu yang melampaui bagian-bagian teks. Kontinuitas dan pengulangan tersebut terdapat pada pemahaman teks yang melibatkan pengetahuan dan tata bahasa yang selanjutnya membentuk representasi mental koherensi teks dalam pikiran. Koherensi sebagai entitas mental dapat mengonstitusi koherensi dengan cara meninggalkan jejak di dalam teks dari koherensi yang terdapat secara eksternal dalam teks. Perangkat gramatikal selalu dilibatkan untuk mempermudah pemahaman koherensi. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara preposisi yang satu dengan preposisi yang lain untuk mendapatkan interpretasi wacana.


2.5       Tema, Topik, dan Judul
Topik, tema, dan judul pada dasarnya hampir sama maknanya, yaitu pokok pembicaraan dalam diskusi atau dialog, pokok pikiran suatu karangan, dan nama yang digunakan untuk makalah atau buku atau gubahan sajak.
1. Topik
Topik (bahasa Yunani : topoi) adalah inti utama dari seluruh isi tulisan yang hendak disampaikan. Topik merupakan hal yang ditentukan pertama kali saat penulis akan membuat tulisan. Topik awal tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Biasanya, topik terdiri dari satu atau dua kata yang singkat.
*      Ciri-ciri topik
  • Ciri utama topik ialah permasalahannya yang bersifat umum dan belum terurai.
*      Kriteria topik yang baik
  • Penulis menguasainya dengan baik dan mengetahui prinsip-prinsip ilmiahnya.
  • Menarik untuk ditulis dan dibaca.
  • Jangan terlalu baru, teknis, dan kontroversial.
  • Bermanfaat.
  • Jangan terlalu luas.
  • Topik yang dipilih harus berada disekitar kita.
  • Memiliki ruang lingkup yang sempit dan terbatas.
  • Memiliki data dan fakta yang obyektif.
  • Memiliki sumber acuan atau referensi.
*      Cara Membatasi Topik
Cara membatasi sebuah topik dapat dilakukan dengan mempergunakan cara sebagai berikut:
1.Tetapkanlah topik yang akan digarap dalam kedudukan sentral.
2.Mengajukan pertanyaan, apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat dirinci lebih lanjut? Bila dapat, tempatkanlah rincian itu sekitar lingkaran topik pertama tadi.
3.Tetapkanlah dari rincian tadi mana yang akan dipilih.
4.Mengajukan pertanyaan apakah sektor tadi masih dapat dirinci lebih lanjut atau tidak.
Topik harus terbatas. Pembatasan sebuah topik mencangkup: konsep, variabel, data, lokasi(lembaga) pengumpulan data, dan waktu pengumpulan data.
2. Tema
Tema berasal dari bahasa Yunani “thithenai”, berarti sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan. Tema (bahasa Yunani : thithenai) adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah dalm cerita dan telah diuraikan. Dalam tema tersirat amanat atau tujuan penulis yang ingin disampaikan. Tema inilah yang akan menentukan arah tulisan atau tujuan dari suatu tulisan. Menentukan tema berarti menentukan apa masalah sebenarnya yang akan diuraukan oleh penulis.

*      Tema dapat dibedakan menjadi dua :
·         Pendek => Kata atau Frasa.
·         Panjang => Kalimat bersifat umum.
*      Syarat Tema yang Baik
a. Tema menarik perhatian penulis.
Tema yang menarik perhatian penulis akan memungkinkan penulis berusaha terus- menerus mencari data untuk memecahakan masalah-masalah yang dihadapi, penulis akan didorong terus-menerus agar dapat menyelesaikan karya tulis itu sebaik-baiknya.
b. Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya bahwa sekurang-kurangnya prinsip-prinsip ilmiah diketahui oleh penulis. Berdasarkan prinsip ilmiah yang diketahuinya, penulis akan berusaha sekuat tenaga mencari data melalui penelitian, observasi, wawancara, dan sebagainya sehingga pengetahuannya mengenai masalah itu bertambah dalam. Dalam keadaan demikian, disertai pengetahuan teknis ilmiah dan teori ilmiah yang dikuasainya sebagai latar belakang masalah tadi, maka ia sanggup menguraikan tema itu sebaik-baiknya.
c. Bahan-bahannya dapat diperoleh.
Sebuh tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia, hal ini memungkinkan penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan menguasai sepenuhnya.
d. Tema dibatasi ruang lingkupnya. Tema yang terlampau umum dan luas yang mungkin belum cukup kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih bijaksana kalau dibatasi ruang lingkupnya.
3. Judul
*      Pengertian Judul
Judul adalah identitas dari jiwa seluruh karya tulis yang bersifat menjelaskan diri, menarik perhatian dan terkadang menentukan lokasi.Judul merupakan nama yang dipakai untuk tulisan, buku, bab dalam buku, kepala berita, dan lain-lain. Judul sebaikmya dibuat ringkas, padat, dan menarik. Usahakan judul suatu tulisan tidak lebih dari lima kata tetapi dapat menggambarkan isi tulisan.
*      Fungsi judul :
  • Merupakan identitas atau cermin dari jiwa seluruh tulisan.
  • Temanya menjelaskan diri dan menarik sehingga mengundang orang untuk membaca isinya.
  • Gambaran global tentang arah, maksud, tujuan, dan ruang lingkupnya.
  • Relevan dengan seluruh isi tulisan, maksud masalah, dan tujuannya.
*      Syarat-syarat pembuatan judul :
1. Harus relevan, yaitu harus mempunyai pertalian dengan temanya, atau ada pertalian dengan beberapa bagian penting dari tema tersebut.
2. Harus provokatif, yaitu harus menarik dengan sedemikian rupa sehingga menimbulkan keinginan tahu dari tiap pembaca terhadap isi buku atau karangan.
3. Harus singkat, yaitu tidak boleh mengambil bentuk kalimat atau frasa yang panjang, tetapi harus berbentuk kata atau rangklaian kata yang singkat. Usahakan judul tidak lebih dari lima kata.



*      Judul terbagi menjadi dua,yaitu :
1. Judul langsung :
Judul yang erat kaitannya dengan bagian utama berita, sehingga hubugannya dengan bagian utama nampak jelas.
2. Judul tak langsung :
Judul yang tidak langsung hubungannya dengan bagian utama berita tapi tetap menjiwai seluruh isi karangan atau berita. .
*      Syarat-syarat judul yang baik :
  • Harus berbentuk frasa.
  • Tanpa ada singkatan atau akronim.
  • Awal kata harus huruf kapital, kecuali preposisi dan konjungsi.
  • Tanpa tanda baca di akhir judul.
  • Menarik.
  • Logis.
  • Sesuai dengan isi.

2.6       Referensi dan Inferensi Kewacanaan
Referensi (pengacuan) adalah hubungan antara kata dan objeknya.
Referensi dapat dilihat dari 2 hal, yaitu:

      Sudut analisis wacana
Dari sudut analisis wacana, adanya Referensi Eksoforis, yaitu Referensi dengan objek acuan di luar teks.
Contoh:
Saya belum sarapan pagi ini.
Kata saya merupakan referensi eksoforis.
Dan Referensi Endoforis , yaitu Referensi dengan objek acuan di dalam teks.
Contoh:
Bapak dan ibu sudah berangkat. Mereka naik taksi.
Kata mereka merupakan referensi endoforis, yang mengacu pada kata bapak dan ibu.

      Tipe objeknya
Dari tipe objeknya terdapat tiga hal.
1. Referensi Personal
Referensi yang ditandai dengan pemakaian pronomina persona, seperti saya, Anda, kami, mereka, dll.
2. Referensi Demonstratif
Referensi yang ditandai dengan penggunaan demonstrativa, yaitu ini, itu, sini, situ, dan sana.

3. Referensi Komparatif
Referensi yang ditandai dengan pemakaian kata yang digunakan untuk membandingkan, seperti sama, serupa, dan berbeda.
Inferensi kewacanaan adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
2.7       Skemata : Representasi Pengetahuan

Menurut Piaget, skemata merupakan representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide, dan aksi yang diasosiasikan, dan merupakan dasar pembangunan pemikiran. Skemata selalu berkembang sejalan dengan kapasitas pengalamannya. Dalam perkembangannya skemata sebelumnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skemata baru.

Pengertian skemata ketika dihubungkan dengan teori membaca, menggambarkan proses dimana pembaca mengkombinasikan pengetahuan awalnya dengan informasi baru dalam teks bacaan yang dipahami atau Skemata merupakan bagian dari pengetahuan awal yang menyediakan interpretasi bermakna tentang konten yang baru.
Skemata berawal dari teori skema, yang menggambarkan proses dimana pembelajar membandingkan latar belakang pengetahuan yang mereka miliki dengan informasi yang baru akan didapatkannya. Teori skema ini didasarkan pada kepercayaan bahwa setiap kegiatan pemahaman dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang yang luas.

Ada dua proses yang saling mengisi yang menyebabkan skemata seseorang senantiasa berkembang, yaitu:
ü  Proses asimilasi
Asimilasi adalah proses penyerapan konsep baru ke dalam struktur kognitif yang telah ada, pada proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang ada untuk menanggapi masalah yang datang dari lingkungannya.
ü  proses akomodasi.
Akomodasi adalah proses pembentukan skemata baru atau memodifikasi struktur kognitif yang telah ada supaya konsep-konsep baru dapat diserap.Jadi dalam proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur kognitif yang sudah ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya.
Keserasian antara asimilasi dengan akomodasi, kemudian disebut Ekuilibrasi. Ekuilibrasi adalah proses terjadinya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang mengahasilkan suatu keseimbangan baru. Jika seseorang berhadapan dengan suatu masalah, maka struktur kognitifnya akan mengalami ketidakseimbangan sehingga secara spontan struktur kognitif tersebut mengadakan kegiatan pengaturan diri (Self-regulation) sebagai upaya untuk memperoleh suatu keseimbangan baru lagi. Tercapainya keseimbangan baru meunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah dicapai sebagai umpan balik dan disimpan dalam struktur yang permanen.
Karena skema atau skemata itu merupakan representasi pengetahuan pesapa untuk memahami apa yang dibaca atau didengar, konsep itu merupakan unsure dasar dalam memroses segala informasi baru. Konsep itu dipergunakan dalam menafsirkan data inderawi, baik yang bersifat linguistic Maupin non linguistik, untuk menelusuri informasi dari ingatan, mengatur tindakan, menentukan tujuan, mengalokasi sumber dan membimbing alur  pada system.

1. Pengertian Skemata
Pada dasarnya teori skemata ialah teori tentang pengetahuan, tentan bagaimaa  pengethun disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberi emudahan dalam memahami pengetahuan itu.
Suatu skemata merupakan struktur data yang mewakili konsep-konsep menarik yan tersimpan dalam ingatan.
Sebagai bagian dari skemata, sebuah skemata dipandang sebagai bagian dari konsep yang bersangkutan sekaligus merupakan wujud prototype teori makna.
2. Skemata sebagai Pentas
Struktur inter suatu skema pada dasarnya sesuai dengan naksah suatu pentas. Pada sebuah pentas para peaku dapat diperankan oleh actor-aktris yang berbed pada waktu yang berbeda pula, tanpa mengubah sifat-sifat dasar pentas itu.
3. Struktur Pengendalian Skemata
Masalah struktur pengendalian diantaranya tentang pemerolehan konfigurasi skemata yang memadai, juga menilai kecocokan atau keserasian.
Terdapat dua sumber dasar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan skemata yang masing-masing diacu sebagai pengaktifan atas-ke-bawah (top down) dan pengaktifan bawah-ke-atas (bottom-up). Ada juga sebagai istilah ahli yang membedakan kedua sumber itu dengan menggunakan istilah pengaktifan konsep dan pengaktifan data.
Sampai sekarang konsep atau gagasan skemata merupakan jalan yang paling memberi harapan dari sudut wacana yang bisa dimanfatkan dalam studi bahasa, khususnya mengenai kemampuan dan pemahaman membaca. Hal ini dipilih karena dalam era informasi sekarang ini kita mesti mengembangkan bukan saja kebiasaan membaca, melainkan juga kemahiran menagkap secara tepat apa yang dibaca.
4.Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana
Dalam mempelajari acana, kita berkenalan dengan berbagai model mental sebagai sarana untuk memahami bacaan. Studi para ahli ilmu jiwa kognitif mendapat dukungan dari hasil-hasil studi para ahli ‘kecerdasarn buatan’ yang tidak saja bermanfaat bagi teknologi computer, melainkan juga bagi para ahli ilmu jiwa, pendidikan, dan ilmu bahasa.
Pengetahuan tentang konsep skemata sebagai sarana pemahaman wacana merupakan dasar bagi sarana pemahaman pembaca pada umumnya. Karena skemata merupakan bagian dari ‘penyajian pengetahuan latar’, luasnya pengetahuan dan pengalaman pembaca merupakan salah satu dasar bagi kokohnya rancangan yang menggunakan konsep skemata. Pembaca yang piawai pada umumnya mempunyai pengetahuan dunia yang luas dan dalam.







BAB III
KESIMPULAN

3.1 Simpulan

Wacana merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.

Jenis-jenis Wacana
Leech mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut ini;
·         Wacana ekspresif
·         Wacana fatis
·         Wacana informasional
·         Wacana estetik
·         Wacana direktif
Berdasarkan sifatnya, Moeliono, dkk. (1988:335) membedakan wacana atas dua jenis, yaitu:
ü  Wacana Interaksi.
ü  Wacana Transaksi.
Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas;
Ø  Wacana Lisan.
Ø  Wacana Tulis.
Adapun macam-macam wacana dilihat dari sudut tujuannya, yakni:
v  Eksposisi
v  Argumentasi
v  Persuasi
v  Deskripsi
v  Narasi
Konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain. Konteks terdiri atas beberapa hal, antara lain: situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran.

Kohesi dan koherensi. Kohesi mengacu pada keterkaitan makna yang menghubungkan suatu unsur dengan unsur sebelumnya dalam teks apabila interpretasi sejumlah unsur dalam sebuah teks tergantung pada unsur lainnya. Koherensi adalah hubungan semantis yang mendasari sebuah wacana. Hubungan tersebut dihasilkan oleh sesuatu di luar teks.
Topik, tema, dan judul pada dasarnya hampir sama maknanya, yaitu pokok pembicaraan dalam diskusi atau dialog, pokok pikiran suatu karangan, dan nama yang digunakan untuk makalah atau buku atau gubahan sajak.

Referensi (pengacuan) adalah hubungan antara kata dan objeknya.
Inferensi kewacanaan adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Skemata ialah teori tentang pengetahuan, tentan bagaimana  pengetahuan disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberi kemudahan dalam memahami pengetahuan itu.
·         Skemata sebagai Pentas
·         Struktur Pengendalian Skemata
·         Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana




DAFTAR PUSTAKA


Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
http://cenya95.wordpress.com