PENYULUHAN
BAHASA
“WACANA”
Dosen Pengampu
: Frieska Maryofa, S.Pd., M.Pd.
Oleh:
Kelompok 7 BINA VI C
1.
ADE TATI HIDAYATI 101210003
2.
AFRIASINTA 101210004
3.
ANDRE SETIAWAN 101210017
4.
KIKI UTARI
5.
RYANDA
6.
SUSI SETIAWATI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
STKIP PGRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2012/2013
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa, berkat rahmat dan karunia yang
dilimpahkan-Nya serta usaha yang telah
penulis
lakukan maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Penyuluhan Bahasa tentang “Wacana”.
Makalah
ini berisi pembahasan tentang pengertian
wacana, jenis-jenis wacana, konteks wacana, kohesi dan koherensi, tema, topic,
dan judul dalam wacana, referensi dan inferensi kewacanaan, serta schemata
representasi pengetahuan.
Bandar Lampung, Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................ i
Daftar Isi....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Wacana.................................................................................. 3
2.2 Jenis-Jenis Wacana................................................................................... 4
2.3 Konteks Wacana...................................................................................... 8
2.4 Kohesi dan Koherensi.............................................................................. 11
2.5 Topik, Tema, dan Judul........................................................................... 16
2.6 Referensi dan Interferensi Kewacanaan.................................................. 20
2.7 Skemata: Representasi Pengetahuan........................................................ 21
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Penyuluhan
bahasa bagi seorang mahasiswa khususnya pada program studi Bahasa dan Sastra
Indonesia sangat diperlukan. Penyuluhan bahasa dapat dilihat dari segi
fonologi, morfologi, sintaksis hingga wacana.
Dalam hal
ini, penulis akan membahas mengenai wacana yang secara notabene adalah bagian
hierarki tertinggi dari struktur bahasa sebab calon guru yang mengenyam pendidikan diharapkan
memiliki bekal dalam
pengajaran khususnya wacana.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang penyuluhan bahasa pada bagian wacana yang
dapat menjadi referen mahasiswa agar terukur sejauh mana pengetahuan yang akan
menjadi bekal di dalam mengajar.
1.2 Rumusan
Masalah
Masalah dalam makalah dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1
Apa pengertian wacana?
1.2.2
Sebutkan jenis-jenis wacana?
1.2.3
Bagaimanakah konteks wacana itu?
1.2.4
Bagaimanakah kohesi dan koherensi dalam wacana?
1.2.5
Apakah tema,
topic, dan judul dalam wacana?
1.2.6
Bagaimanakah
referensi dan inferensi kewacanaan?
1.2.7
Apakah
schemata dari representasi pengetahuan?
1.3
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1
Agar
mahasiswa mengetahui definisi wacana.
1.3.2
Agar
mahasiswa mengetahui jenis-jenis wacana.
1.3.3
Agar
mahasiswa mengetahui konteks wacana.
1.3.4
Agar
mahasiswa mengetahui kohesi dan koherensi dalam wacana.
1.3.5
Agar
mahasiswa mengetahui topic, tema dan
judul dalam wacana.
1.3.6
Agar
mahasiswa mengetahui referensi dan
inferensi kewacanaan.
1.3.7
Agar
mahasiswa mengetahui schemata
representasi pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Wacana
Menurut Abdul Chaer, wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar.Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat
konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca
(dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan
apapun.Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari
kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan
persyaratan kewacanaan lainnya (kohesi dan koherensi).Kekohesian adalah
keserasian hhubungan antar unsur yang ada. Wacana yang kohesif bisa menciptakan
wacana yang koheren (wacana yang baik dan benar).
Harimurti
Kidalaksana mengungkapkan wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Namun,
dalam realisasinya wacana dapat berupa karangan yang utuh (novel, buku, seri
ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frase, bahkan kata yang
membawa amanat lengkap.
Jusuf Syarif Badudu mendefiniskan wacana sebagai rentetan
kalimat yang saling berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan
proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna
yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.Wacana adalah kesatuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan
koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang
nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
Dari
uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa wacana merupakan suatu pernyataan atau
rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan dan memiliki
hubungan makna antarsatuan bahasanya serta terikat konteks. Dengan demikian
apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan melalui beragam media yang
memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya dapat dikatakan sebagai sebuah
wacana.
2.2 Jenis – Jenis
Wacana
Leech
mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut
ini;
·
Wacana ekspresif
Yaitu
apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi,
seperti wacana pidato;
·
Wacana fatis
Yaitu
apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi,
seperti wacana perkenalan pada pesta;
·
Wacana informasional
Yaitu
apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita
dalam media massa;
·
Wacana estetik
Yaitu
apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti
wacana puisi dan lagu;
·
Wacana direktif
Yaitu
apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau
pembaca, seperti wacana khotbah.
Berdasarkan sifatnya, Moeliono, dkk. (1988:335) membedakan
wacana atas dua jenis, yaitu:
ü Wacana Interaksi.
Wacana interaksi merupakan wacana yang mementingkan hubungan
timbal-balik.
ü Wacana Transaksi.
Wacana transaksi adalah wacana yang menekankan isi.
Kedua wacana ini dapat berwujud lisan maupun tulisan. Wacana
lisan yang bersifat interaksi dapat dilihat dalam tanya jawab antara dokter
dengan pasien, polisi dengan tersangka, atau jaksa dengan terdakwa. Wacana
tulis yang bersifat interaksi dapat berupa, antara lain: polemik, surat menyurat
dua kekasih. Lain halnya dengan ceramah, pidato, dakwah, kuliah, semua itu
merupakan contoh wacana lisan yang transaksi. Di sisi lain, instruksi,
pemberitahuan, pengumuman, iklan, surat cinta, makalah, cerpen adalah contoh
wacana tulis yang bersifat transaksi. Lebih lanjut dikatakan bahwa apa pun
bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa dan pesapa. Dalam wacana lisan
penyapa adalah pembicara dan pesapa adalah pendengar, sedangkan dalam wacana
tulisan, penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca.
Berdasarkan
saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas;
Ø Wacana
Lisan.
Wacana
lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan
alih tutur yang menandai giliran bicara
Ø Wacana
Tulis.
Wacana
tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan
penerapan sistem ejaan.
Wacana
dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif,
wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif,
wacana hortatoris, dan wacana prosedural.
Adapun macam-macam wacana dilihat dari sudut tujuannya,
yakni:
1.
Eksposisi
Wacana ini digunakan oleh penulis untuk memberikan
informasi kepada pembacanya. Begitu juga dengan pembaca menggunakan wacana ini
untuk mencari informasi yang di inginkannya.
2.
Argumentasi
Ditinjau dari sudut penulis karangan jenis ini
ditulis untuk meyakinkan pembaca terhadap suatu kebenaran. Efek lebih lanjut
karangan ini dapat mempengaruhi perilaku para pembacanya walaupun sebenarnya
wacana yang ditulis tidak bermaksud untuk mempengaruhi orang lain. Sebaliknya,
pembaca menggunakan wacana atau karangan ini untuk mencari tau kebenaran dari
suatu hal yang mungkin lebih dikuasai oleh penulis.
3.
Persuasi
Persuasi adalah bentuk karangan yang hampir sama
dengan argumentasi. Wacana persuasi berusaha mempertahankan suatu kebenaran
dalam pembahasannya. Walaupun tidak seratus persen mempertahankan kebenaran,
bentuk wacana ini masih termasuk dalam wacana ilmiah, bukan wacana fiksi.
Wacana ini juga dilengkapi dengan pendapat penulisnya sehingga dapat
mempengaruhi pembaca/pendengar sehingga mereka tertarik untuk mencoba, membeli,
atau memakai produk tertentu.
4.
Deskripsi
Wacana deskripsi adalah wacana yang ditulis untuk
menggambarkan sesuatu kepada pembaca. Biasanya wacana deskripsi ini tidak
berdiri sendiri melainkan memperkuat wacana lainnya.
5.
Narasi
Wacana narasi ini ditulis untuk menceritakan pada
orang lain kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik yang
dialami sendiri maupun yang didengarnya dari orang lain. Dengan cara ini,
penulis/pembicara memenuhi pula kebutuhan para pendengar atau pembacanya untuk
memperoleh cerita tentang kejadian itu. Perlu dicatat bahwa ciri khas wacana
ini adalah kronologisnya. Artinya, sebuah cerita dari awal hingga akhir atau
sebaliknya diceritakan secara runut atau dengan urutan waktu tertentu.
Berdasarkan cara penuturannya, wacana digolongkan menjadi:
o
wacana
pembeberan (expository discourse)
Wacana pembeberan adalah wacana yang tidak mementingkan
waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya
diikat secara logis.
o
wacana
penuturan (narrative discourse).
Wacana penuturan adalah wacana yang mementingkan urutan
waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu,
berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi.
Tarigan (1987: 51-61) mengklasifikasi wacana berdasarkan
empat aspek, yaitu tertulis atau tidaknya wacana, langsung atau tidaknya
wacana, cara penuturan wacana dan bentuk wacana. Berdasarkan tertulis tidaknya
wacana, dikenal wacana tulis dan wacana lisan. Wacana yang pertama mengacu pada
wacana yang disampaikan secara tertulis atau melalui media tulis dan untuk
memahaminya diperlukan kegiatan membaca. Wacana yang kedua mengacu kepada
wacana yang disampaikan secara lisan atau melalui media lisan dan untuk
memahaminya diperlukan kegiatan menyimak. Ditinjau dari langsung tidaknya
penyampaian wacana, ada wacana langsung dan wacana tak langsung. Wacana
langsung (direct discourse) adalah kutipan wacana yang dibatasai oleh
intonasi atau pungtuasi, sedangkan wacana tak langsung (indirect discourse)
adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara utuh atau harfiah
kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan menggunakan konstruksi gramatikal
atau kata tertentu, misalnya dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan
sebagainya.
2.3 Konteks
Wacana
Menurut Halliday dan Hasan (1985:5)
yang dimaksudkan konteks wacana adalah teks yang menyertai teks lain.
Pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan
tuliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian nonverbal lainnya keseluruhan
lingkungan teks itu.
Wacana akan
terbentuk apabila digunakan konteks yang tepat, dengan memperhatikan:
•
Siapa penulis kalimat itu,
•
Siapa pembaca yang akan membaca kalimat
itu,
•
Dimana tempatnya, dan
•
Kapan digunakan.
Konteks mengacu pada interaksi antara pengetahuan kebahasaan
dan dasar pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar atau pembaca.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi perbedaan pemahaman antara penutur
dan pendengar maupun penulis dan pembaca. Hal itu terjadi karena apa yang
disampaikan oleh penutur sering memiliki maksud yang lebih dari sekedar makna
kata-kata itu sendiri.
v Unsur-unsur
Konteks Wacana
Menurut Anton M. Moeliono dan Samsuri, konteks terdiri atas
beberapa hal, antara lain: situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik,
peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran. Dalam hal ini, Dell Hymes
merumuskan dengan baik melalui akronim SPEAKING yang tiap-tiap fonemnya mewakili
faktor penentu yang dimaksudkan. Secara sederhana dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Latar (Seting and Scene).
Setting lebih bersifat fisik yang mengacu
pada tempat dan waktu terjadinya percakapan. Sedangkan scene merupakan latar psikis yang lebih mengacu pada suasana
psikologis yang menyertai peristiwa tuturan;
b. Peserta (Participants).
Peserta yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan,
baik secara langsung maupun tidak langsung;
c. Hasil (Ends).
Hasil mengacu pada tujuan akhir dan tanggapan dari suatu
pembicaraan yang memang diharapkan oleh penutur;
d. Amanat (Act Sequence).
Amanat mengacu pada bentuk dan isi amanat;
e. Cara (Key)
Cara mengacu pada pelaksanaan percakapan, misalnya dengan
cara bersemangat, santai, maupun tenang yang meliputi nada dan sikap;
f. Sarana (Instrumentalitis).
Sarana adalah wahana komunikasi yang dapat mengacu pada
pemakaian bahasa, apakah secara lisan atau tertulis;
g. Norma (Norm).
Norma mengacu pada aturan-aturan perilaku peserta
percakapan, misalnya diskusi yang cenderung bersifat dua arah, sedangkan pidato
cenderung satu arah. Aturan yang membatasi percakapan, seperti bagaimana cara
membicarakannya;
h. Jenis (Genre).
Jenis mengacu pada jenis wacana yang disampaikan, misalnya
wacana koran dan wacana puisi.
Imam Syafei menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan
saksama, konteks terjadinya suatu percakapan terdiri dari empat macam, yaitu.
- Konteks linguistik, yaitu
kalimat-kalimat dalam percakapan;
- Konteks epistemis, yaitu latar
belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan;
- Konteks fisik, yaitu tempat
terjadinya percakapan dan objek yang disajikan dalam percakapan;
- Konteks sosial, yaitu relasi
sosial yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam suatu
percakapan.
Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi
yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat diperinci untuk memberi tanda
keterangan bagi kepentingan dan hubungan dengan pembicara yang
memperkenalkannya pada percakapan tersebut. Rincian tersebut antara lain:
- Perinci fisik, yang dapat
melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, dan binatang
secara fisik. Contoh: gadis yang berambut panjang itu telah menawan
hatinya;
- Perinci emosi, yaitu makna feeling di dalam semantik yang
berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan. Contoh:
gadis cantik yang mungil itu duduk bersimpuh di atas permadani;
- Perinci tindakan, hal ini
mengacu pada ragam tindakan yang dilakukan atau dialami oleh pelaku atau
pengalam di dalam konteks wacana. Contoh: anak kecil yang sedang bermain
itu, kemarin jatuh dari sepeda;
- Perinci campuran, hal ini
terjadi antara perincian emosional dan perbuatan, fisik, dan perbuatan,
atau fisik dan emosional Contoh: Safira
yang sedang membaca surat itu berbaju putih dengan bunga-bunga merah
jambu, sungguh mencerminkan wajah yang cerah. Safira anak yng cantik dan
pintar itu menjadi anak kesayangan orang tuanya.
Selain unsur yang telah disebutkan adalah perincian yang
melibatkan orang dalam masyarakat karena perannya yang relevan bagi isi
konteks. Perhatikanlah kemunculan seorang tokoh masyarakat pada wacana: Gubernur bank Indonesia, Adrianus Mooy
mengemukakan hal itu kepada pers Indonesia di Hongkong, di sela-sela
kesibukannya mengikuti Sidang tahunan Asean Development Bank (ADB) ke-25.
Unsur antarwacana atau ko-teks penting pula dalam menentukan
penafsiran makna. Pengertian sebuah teks atau bagian-bagiannya sering
ditentukan oleh pengertian yang diberikan oleh teks lain, misalnya tulisan yang
digantungkan orang di lorong akhir suatu jalan kampung bertuliskan Terima Kasih, wacana itu jelas-jelas
wacana potongan yang sebelumnya tergantung di lorong masuk jalan kampung yang
bertuliskan Jalan pelan-pelan! Banyak
anak-anak.
2.4 Kohesi dan Koherensi
Kohesi dan koherensi adalah dua
unsur yang menyebabkan sekelompok kalimat membentuk kesatuan makna. Kohesi
merupakan hubungan pengaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit
oleh unsur-unsur gramatikal dan semantik dalam kalimat-kalimat yang membentuk
wacana (Hasan Alwi, 2003: 427).
Kohesi mengacu pada keterkaitan
makna yang menghubungkan suatu unsur dengan unsur sebelumnya dalam teks apabila
interpretasi sejumlah unsur dalam sebuah teks tergantung pada unsur lainnya.
Kohesi secara garis besar dapat
diklasifikasi menjadi dua.
Pertama, berdasarkan pilihan bentuk yang
digunakannya, antara lain.
a. Kohesei gramatikal, yaitu hubungan kohesif
yang dicapai dengan penggunaan elemen dan aturan gramatikal, meliputi
referensi, substitusi, dan elipsis;
b. Kohesi leksikal, yaitu efek
kohesif yang dicapai melalui pemilihan kosakata.
Kedua, berdasarkan asal hubungannya,
kohesi diklasifikasi lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu.
a.
Keterkaitan bentuk yang meliputi substitusi, elipsis, dan kolokasi leksikal;
b.
Keterkaitan referensi yang meliputi referensi dan reiterasi leksikal;
c. Hubungan
semantik yang diperantai oleh konjungsi.
Menurut Untung Yuwono dalam bukunya
yang berjudul Pesona Bahasa
menyatakan bahwa kohesi tidak datang dengan sendirinya, tetapi diciptakan
secara formal oleh alat bahasa yang disebut pemarkah kohesi, misalnya kata
ganti, kata tunjuk, kata sambung, dan kata yang diulang. Pemarkah kohesi yang
digunakan secara tepat menghasilkan kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.
v Kohesi
leksikal adalah
hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur
leksikal atau kata yang dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi.
Reiterasi adalah pengulangan kata-kata pada kalimat berikutnya untuk memberikan
penekanan bahwa kata-kata tersebut merupakan fokus pembicaraan. Reiterasi dapat
berupa repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi, dan antonimi. Sedangkan kolokasi
adalah hubungan antarkata yang berada pada lingkungan atau bidang yang sama. Contohnya,
[petani] di Lampung terancam gagal memanen [padi]. [sawah] yang mereka garap
terendam banjir selama dua hari.
v kohesi
gramatikal adalah
hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal, yaitu alat bahasa
yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi gramatikal dapat
berwujud referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
diketahui ada lima macam peranti kohesi, yaitu referensi, substitusi, elipsis,
konjungsi, dan kohesi leksikal.
·
Referensi adalah hubungan antara satuan
bahasa, benda, atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa
tersebut. Contohnya, aku suka [kucing], dan aku juga suka [kelinci]. [itulah]
kesukaanku. Secara sintaktis dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia referensi
unsur kalimat dimarkahi oleh pewatas berikut ini.
a.
Artikula: si, sang, dan yang;
b.
Demonstrativa: ini, itu, sini, sana, dan situ;
c.
Pronomina: saya, kami, mereka, -ku, -mu, dan -nya;
d.
Numeralia: satu, kedua;
e.
Nama diri: Tian, Ulva, Rizky;
f.
Nomina pengacu: Bapak, Ibu, Saudara.
·
Substitusi adalah penggantian item tertentu
dengan item yang lain. Contohnya, [Ahmad] datang menagih lagi. [orang itu]
benar-benr tidak tahu malu. Elipsis adalah penghilangan item tertentu.
Contohnya adalah sebagai berikut.
Rina :
[Apakah adikmu akan lulus ujian?]
Rani : Saya
harap [begitu].
·
Konjungsi tercipta secara tidak langsung
melalui keberadaannya yang memberikan makna tertentu bagi hubungan antarelemen
dalam teks. Contohnya, Ayah bekerja [dan] adik sekolah. Kohesi leksikal adalah kohesi yang dibangun melalui hubungan
antarkata berisi, yaitu berupa reiterasi leksikal dan kolokasi. Reiterasi
leksikal mencangkup pemanfaatan seluruh jenis relasi leksikal, misalnya repetisi,
penggunaan sinonimi, superordinat, antonimi, komplementer, dan relasi leksikal
lainnya.
Alwi menyatakan bahwa kohesi dapat
dicapai melalui delapan peranti.
Pertama, penggunaan konjungtor yang
menunjukan relasi makna antarbagian dalam teks. Konjungtor tersebut antara
lain.
a. Pertentangan yang dinyatakan dengan
konjungtor tetapi atau namun. Contohnya, Ayah Ulva setuju ia ke Bandung,
[tetapi] ibunya melarangnya pergi;
b. Pengutamaan yang dinyatakan
dengan konjungtor bahkan. Contohnya, Rizky menggelar acara ulang tahun,
[bahkan] presiden SBY pun turut menghadirinya;
c. Pengecualian yang dinyatakan
dengan konjungtor kecuali. Contohnya, Pak Legi tidak pernah merokok [kecuali]
bila ada tamu;
d. Konsesi yang dinyatakan
dengan konjungtor walaupun atau meskipun. Contohnya, Perempuan itu sangat
dicintainya [walaupun] hal itu tidak pernah diucapkannya;
e. Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau
supaya. Contohnya, Toni belajar giat sekali semester ini [agar] ia dapat
menyelesaikan studinya akhir tahun ini.
Kedua, pengulangan kata atau frasa, baik
secara utuh ataupun sebagian, misalnya [Nenek] membelikan adik kucing. [Nenek]
memang tahu adik suka kucing.
Ketiga, penggunaan bentuk leksikal lain
yang maknanya berbeda dengan makna kata yang diacunya tetapi memiliki acuan
yang sama, misalnya [putri penyair kenamaan itu] makin besar saja. [Gadis itu]
sekarang duduk di sekolah menengah.
Keempat, penggunaan bentuk lain yang tidak
mengacu ke acuan yang sama tetapi berhubungan, misalnya tetangga kami
mempunyai [kucing Persia]. Dokter Sukartono mempunyai [seekor juga].
Kelima, penggunaan hubungan anaforis dan
kataforis. Hubungan anaforis adalah hubungan antara pronomina yang mengacu
kembali ke antesedennya. Contohnya, [Sigit] membeli sepeda baru, dan dengan
sepeda[-nya] itu Amir diajak menelusuri kota Tangerang. Sedangkan hubungan
kataforis adalah hubungan antara pronomina dengan anteseden yang mengikutinya.
Contohnya, Dengan motor[-nya] itu, [Bu Tian] menelusuri kota Ciputat.
Keenam, penggunaan hubungan metaforis,
yaitu penggunaan kata atau frasa untuk menyatakan sesuatu yang mempunyai
persamaan sifat dengan benda atau hal yang biasa dinyatakan oleh kata atau
frasa tersebut. Contohnya, [Orang sebodoh Gayus] belum pernah aku jumpai,
tetapi [keledai] itu benar-benar menjengkelkan sekali.
Ketujuh, elipsis, misalnya anak pak Hasan
[hari ini ujian SPMB], dan [adik saya juga].
Kedelapan, hubungan leksikal yang meliputi
hiponimi. Contohnya, Jangankan [mebel], satu [kursi] pun saya tak punya.
Koherensi adalah hubungan semantis
yang mendasari sebuah wacana. Hubungan tersebut dihasilkan oleh sesuatu di luar
teks. Sesuatu tersebut biasanya merupakan pengetahuan yang diasumsikan telah dimiliki
pendengar atau pembaca.
Koherensi merupakan keberterimaan suatu
tuturan atau teks karena kepaduan semantisnya. Koherensi juga mengaitkan dua
proposisi atau lebih, tetapi keterkaitan di antara proposisi-proposisi tersebut
tidak secara eksplisit dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang dipakai. Contohnya
adalah sebagai berikut.
Kakak : Angkat telepon itu,
Dik!
Adik : Aku sedang
mandi, Ka!
Kakak : Oke!
Perkaitan antarproposisi tetap ada
walaupun pada kalimat tersebut tidak secara nyata ditemukan unsur-unsur kalimat
yang menunjukan adanya pengaitan gramatikal. Kalimat yang diucapkan oleh adik
dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Aku sedang mandi Ka! (Jadi
aku tidak dapat menerima telepon itu), sementara Oke! yang diucapkan oleh kakak
dapat ditafsirkan sebagai bentuk pendek dari kalimat Oke! Kalau begitu, aku
saja yang menerimanya.
Koherensi pada dasarnya adalah
kontinuitas dan pengulangan elemen tertentu yang melampaui bagian-bagian teks.
Kontinuitas dan pengulangan tersebut terdapat pada pemahaman teks yang
melibatkan pengetahuan dan tata bahasa yang selanjutnya membentuk representasi
mental koherensi teks dalam pikiran. Koherensi sebagai entitas mental dapat
mengonstitusi koherensi dengan cara meninggalkan jejak di dalam teks dari
koherensi yang terdapat secara eksternal dalam teks. Perangkat gramatikal
selalu dilibatkan untuk mempermudah pemahaman koherensi. Dalam struktur wacana,
aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin
antara preposisi yang satu dengan preposisi yang lain untuk mendapatkan
interpretasi wacana.
2.5 Tema, Topik,
dan Judul
Topik, tema, dan judul pada dasarnya hampir sama
maknanya, yaitu pokok pembicaraan dalam diskusi atau dialog, pokok pikiran
suatu karangan, dan nama yang digunakan untuk makalah atau buku atau gubahan
sajak.
1. Topik
Topik (bahasa Yunani : topoi) adalah inti
utama dari seluruh isi tulisan yang hendak disampaikan. Topik merupakan hal
yang ditentukan pertama kali saat penulis akan membuat tulisan. Topik awal
tersebut kemudian dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Biasanya, topik terdiri
dari satu atau dua kata yang singkat.
Ciri-ciri topik
- Ciri utama topik ialah permasalahannya yang bersifat umum dan
belum terurai.
Kriteria topik yang baik
- Penulis
menguasainya dengan baik dan mengetahui prinsip-prinsip ilmiahnya.
- Menarik
untuk ditulis dan dibaca.
- Jangan
terlalu baru, teknis, dan kontroversial.
- Bermanfaat.
- Jangan
terlalu luas.
- Topik
yang dipilih harus berada disekitar kita.
- Memiliki
ruang lingkup yang sempit dan terbatas.
- Memiliki
data dan fakta yang obyektif.
- Memiliki
sumber acuan atau referensi.
Cara
Membatasi Topik
Cara membatasi sebuah topik dapat dilakukan dengan
mempergunakan cara sebagai berikut:
1.Tetapkanlah topik yang akan digarap dalam kedudukan sentral.
2.Mengajukan pertanyaan, apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu
masih dapat dirinci lebih lanjut? Bila dapat, tempatkanlah rincian itu sekitar
lingkaran topik pertama tadi.
3.Tetapkanlah dari rincian tadi mana yang akan dipilih.
4.Mengajukan pertanyaan apakah sektor tadi masih dapat dirinci lebih lanjut
atau tidak.
Topik harus terbatas. Pembatasan sebuah topik
mencangkup: konsep, variabel, data, lokasi(lembaga) pengumpulan data, dan waktu
pengumpulan data.
2. Tema
Tema berasal dari bahasa Yunani “thithenai”,
berarti sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan. Tema
(bahasa Yunani : thithenai) adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah
dalm cerita dan telah diuraikan. Dalam tema tersirat amanat atau tujuan penulis
yang ingin disampaikan. Tema inilah yang akan menentukan arah tulisan atau
tujuan dari suatu tulisan. Menentukan tema berarti menentukan apa masalah
sebenarnya yang akan diuraukan oleh penulis.
Tema dapat dibedakan menjadi
dua :
·
Pendek => Kata atau Frasa.
·
Panjang => Kalimat bersifat umum.
Syarat
Tema yang Baik
a. Tema menarik perhatian penulis.
Tema yang menarik perhatian penulis akan
memungkinkan penulis berusaha terus- menerus mencari data untuk memecahakan
masalah-masalah yang dihadapi, penulis akan didorong terus-menerus agar dapat
menyelesaikan karya tulis itu sebaik-baiknya.
b. Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya bahwa sekurang-kurangnya prinsip-prinsip
ilmiah diketahui oleh penulis. Berdasarkan prinsip ilmiah yang diketahuinya,
penulis akan berusaha sekuat tenaga mencari data melalui penelitian, observasi,
wawancara, dan sebagainya sehingga pengetahuannya mengenai masalah itu
bertambah dalam. Dalam keadaan demikian, disertai pengetahuan teknis ilmiah dan
teori ilmiah yang dikuasainya sebagai latar belakang masalah tadi, maka ia
sanggup menguraikan tema itu sebaik-baiknya.
c. Bahan-bahannya dapat diperoleh.
Sebuh tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah
bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia, hal
ini memungkinkan penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan
menguasai sepenuhnya.
d. Tema dibatasi ruang lingkupnya. Tema yang
terlampau umum dan luas yang mungkin belum cukup kemampuannya untuk
menggarapnya akan lebih bijaksana kalau dibatasi ruang lingkupnya.
3. Judul
Pengertian
Judul
Judul adalah identitas dari jiwa seluruh karya
tulis yang bersifat menjelaskan diri, menarik perhatian dan terkadang
menentukan lokasi.Judul merupakan nama yang dipakai untuk tulisan, buku, bab
dalam buku, kepala berita, dan lain-lain. Judul sebaikmya dibuat ringkas, padat,
dan menarik. Usahakan judul suatu tulisan tidak lebih dari lima kata tetapi
dapat menggambarkan isi tulisan.
Fungsi judul :
- Merupakan identitas atau cermin dari jiwa seluruh tulisan.
- Temanya menjelaskan diri dan menarik sehingga mengundang
orang untuk membaca isinya.
- Gambaran global tentang arah, maksud, tujuan, dan ruang
lingkupnya.
- Relevan dengan seluruh isi tulisan, maksud masalah, dan
tujuannya.
Syarat-syarat
pembuatan judul :
1. Harus relevan, yaitu harus mempunyai pertalian
dengan temanya, atau ada pertalian dengan beberapa bagian penting dari tema
tersebut.
2. Harus provokatif, yaitu harus menarik dengan
sedemikian rupa sehingga menimbulkan keinginan tahu dari tiap pembaca terhadap
isi buku atau karangan.
3. Harus singkat, yaitu tidak boleh mengambil bentuk
kalimat atau frasa yang panjang, tetapi harus berbentuk kata atau rangklaian
kata yang singkat. Usahakan judul tidak lebih dari lima kata.
Judul
terbagi menjadi dua,yaitu :
1. Judul langsung :
Judul yang erat kaitannya dengan bagian utama
berita, sehingga hubugannya dengan bagian utama nampak jelas.
2. Judul tak langsung :
Judul yang tidak langsung hubungannya dengan bagian utama berita tapi tetap
menjiwai seluruh isi karangan atau berita. .
Syarat-syarat judul yang baik :
- Harus berbentuk frasa.
- Tanpa ada singkatan atau akronim.
- Awal kata harus huruf kapital, kecuali preposisi dan
konjungsi.
- Tanpa tanda baca di akhir judul.
- Menarik.
- Logis.
- Sesuai dengan isi.
2.6 Referensi dan
Inferensi Kewacanaan
Referensi (pengacuan) adalah hubungan
antara kata dan objeknya.
Referensi dapat
dilihat dari 2 hal, yaitu:
• Sudut analisis
wacana
Dari sudut analisis wacana, adanya Referensi Eksoforis, yaitu Referensi
dengan objek acuan di luar teks.
Contoh:
Saya belum sarapan pagi ini.
Kata saya merupakan referensi eksoforis.
Dan Referensi Endoforis ,
yaitu Referensi dengan objek acuan di dalam teks.
Contoh:
Bapak dan ibu sudah berangkat. Mereka
naik taksi.
Kata mereka
merupakan referensi endoforis, yang mengacu pada kata bapak dan ibu.
• Tipe objeknya
Dari tipe objeknya
terdapat tiga hal.
1. Referensi Personal
Referensi yang ditandai dengan pemakaian pronomina persona, seperti saya,
Anda, kami, mereka, dll.
2. Referensi Demonstratif
Referensi yang ditandai dengan penggunaan demonstrativa,
yaitu ini, itu, sini, situ, dan sana.
3. Referensi Komparatif
Referensi yang ditandai dengan pemakaian kata yang digunakan untuk
membandingkan, seperti sama, serupa,
dan berbeda.
Inferensi kewacanaan
adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami
makna yang secara harfiah terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara
atau penulis.
2.7 Skemata :
Representasi Pengetahuan
Menurut
Piaget, skemata merupakan representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide,
dan aksi yang diasosiasikan, dan merupakan dasar pembangunan pemikiran. Skemata
selalu berkembang sejalan dengan kapasitas pengalamannya. Dalam perkembangannya
skemata sebelumnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skemata baru.
Pengertian
skemata ketika dihubungkan dengan teori membaca, menggambarkan proses dimana
pembaca mengkombinasikan pengetahuan awalnya dengan informasi baru dalam teks
bacaan yang dipahami atau Skemata merupakan bagian dari pengetahuan awal yang
menyediakan interpretasi bermakna tentang konten yang baru.
Skemata
berawal dari teori skema, yang menggambarkan proses dimana pembelajar
membandingkan latar belakang pengetahuan yang mereka miliki dengan informasi
yang baru akan didapatkannya. Teori skema ini didasarkan pada kepercayaan bahwa
setiap kegiatan pemahaman dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang yang luas.
Ada
dua proses yang saling mengisi yang menyebabkan skemata seseorang senantiasa
berkembang, yaitu:
ü Proses asimilasi
Asimilasi
adalah proses penyerapan konsep baru ke dalam struktur kognitif yang telah ada,
pada proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang ada
untuk menanggapi masalah yang datang dari lingkungannya.
ü proses akomodasi.
Akomodasi
adalah proses pembentukan skemata baru atau memodifikasi struktur kognitif yang
telah ada supaya konsep-konsep baru dapat diserap.Jadi dalam proses akomodasi
seseorang memerlukan modifikasi struktur kognitif yang sudah ada dalam
mengadakan respon terhadap tantangan lingkungannya.
Keserasian
antara asimilasi dengan akomodasi, kemudian disebut Ekuilibrasi. Ekuilibrasi
adalah proses terjadinya perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain yang
mengahasilkan suatu keseimbangan baru. Jika seseorang berhadapan dengan suatu
masalah, maka struktur kognitifnya akan mengalami ketidakseimbangan sehingga
secara spontan struktur kognitif tersebut mengadakan kegiatan pengaturan diri
(Self-regulation) sebagai upaya untuk memperoleh suatu keseimbangan baru lagi.
Tercapainya keseimbangan baru meunjukkan bahwa ada sesuatu yang telah dicapai
sebagai umpan balik dan disimpan dalam struktur yang permanen.
Karena skema atau skemata
itu merupakan representasi pengetahuan pesapa untuk memahami apa yang dibaca
atau didengar, konsep itu merupakan unsure dasar dalam memroses segala informasi
baru. Konsep itu dipergunakan dalam menafsirkan data inderawi, baik yang
bersifat linguistic Maupin non linguistik, untuk menelusuri informasi dari
ingatan, mengatur tindakan, menentukan tujuan, mengalokasi sumber dan
membimbing alur pada system.
1.
Pengertian Skemata
Pada dasarnya teori
skemata ialah teori tentang pengetahuan, tentan bagaimaa pengethun disajikan, dan tentang bagaimana
sajian itu memberi emudahan dalam memahami pengetahuan itu.
Suatu skemata merupakan
struktur data yang mewakili konsep-konsep menarik yan tersimpan dalam ingatan.
Sebagai bagian dari
skemata, sebuah skemata dipandang sebagai bagian dari konsep yang bersangkutan
sekaligus merupakan wujud prototype teori makna.
2.
Skemata sebagai Pentas
Struktur inter suatu
skema pada dasarnya sesuai dengan naksah suatu pentas. Pada sebuah pentas para
peaku dapat diperankan oleh actor-aktris yang berbed pada waktu yang berbeda
pula, tanpa mengubah sifat-sifat dasar pentas itu.
3.
Struktur Pengendalian Skemata
Masalah struktur
pengendalian diantaranya tentang pemerolehan konfigurasi skemata yang memadai,
juga menilai kecocokan atau keserasian.
Terdapat dua sumber
dasar yang dapat digunakan untuk mengaktifkan skemata yang masing-masing diacu
sebagai pengaktifan atas-ke-bawah (top
down) dan pengaktifan bawah-ke-atas (bottom-up).
Ada juga sebagai istilah ahli yang membedakan kedua sumber itu dengan
menggunakan istilah pengaktifan konsep dan
pengaktifan data.
Sampai sekarang konsep
atau gagasan skemata merupakan jalan yang paling memberi harapan dari sudut
wacana yang bisa dimanfatkan dalam studi bahasa, khususnya mengenai kemampuan
dan pemahaman membaca. Hal ini dipilih karena dalam era informasi sekarang ini
kita mesti mengembangkan bukan saja kebiasaan membaca, melainkan juga kemahiran
menagkap secara tepat apa yang dibaca.
4.Skemata
sebagai Sarana Pemahaman Wacana
Dalam mempelajari
acana, kita berkenalan dengan berbagai model mental sebagai sarana untuk
memahami bacaan. Studi para ahli ilmu jiwa kognitif mendapat dukungan dari
hasil-hasil studi para ahli ‘kecerdasarn buatan’ yang tidak saja bermanfaat
bagi teknologi computer, melainkan juga bagi para ahli ilmu jiwa, pendidikan,
dan ilmu bahasa.
Pengetahuan tentang
konsep skemata sebagai sarana pemahaman wacana merupakan dasar bagi sarana pemahaman
pembaca pada umumnya. Karena skemata merupakan bagian dari ‘penyajian
pengetahuan latar’, luasnya pengetahuan dan pengalaman pembaca merupakan salah
satu dasar bagi kokohnya rancangan yang menggunakan konsep skemata. Pembaca
yang piawai pada umumnya mempunyai pengetahuan dunia yang luas dan dalam.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Wacana
merupakan suatu pernyataan atau rangkaian pernyataan yang dinyatakan secara
lisan ataupun tulisan dan memiliki hubungan makna antarsatuan bahasanya serta
terikat konteks. Dengan demikian apapun bentuk pernyataan yang dipublikasikan
melalui beragam media yang memiliki makna dan terdapat konteks di dalamnya
dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.
Jenis-jenis Wacana
Leech
mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut
ini;
·
Wacana ekspresif
·
Wacana fatis
·
Wacana informasional
·
Wacana estetik
·
Wacana direktif
Berdasarkan sifatnya, Moeliono, dkk. (1988:335) membedakan
wacana atas dua jenis, yaitu:
ü Wacana Interaksi.
ü Wacana Transaksi.
Berdasarkan
saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas;
Ø Wacana
Lisan.
Ø Wacana
Tulis.
Adapun macam-macam wacana
dilihat dari sudut tujuannya, yakni:
v
Eksposisi
v
Argumentasi
v
Persuasi
v
Deskripsi
v
Narasi
Konteks wacana adalah teks yang
menyertai teks lain. Konteks terdiri atas beberapa hal, antara lain: situasi,
partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan
saluran.
Kohesi dan koherensi. Kohesi mengacu
pada keterkaitan makna yang menghubungkan suatu unsur dengan unsur sebelumnya
dalam teks apabila interpretasi sejumlah unsur dalam sebuah teks tergantung
pada unsur lainnya. Koherensi adalah hubungan semantis yang mendasari sebuah
wacana. Hubungan tersebut dihasilkan oleh sesuatu di luar teks.
Topik,
tema, dan judul pada dasarnya hampir sama maknanya, yaitu pokok pembicaraan
dalam diskusi atau dialog, pokok pikiran suatu karangan, dan nama yang
digunakan untuk makalah atau buku atau gubahan sajak.
Referensi (pengacuan) adalah hubungan
antara kata dan objeknya.
Inferensi kewacanaan
adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami
makna yang secara harfiah terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara
atau penulis.
Skemata ialah teori
tentang pengetahuan, tentan bagaimana
pengetahuan disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberi kemudahan
dalam memahami pengetahuan itu.
·
Skemata sebagai Pentas
·
Struktur Pengendalian Skemata
·
Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2003. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
http://cenya95.wordpress.com