Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Friday, 4 January 2019

Tukang Pijat Keliling oleh Sulung Pamangguh


Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat tersendiri. Kami menemukan ketenangan di wajahnya yang membuat kami senantiasa merasa dekat. Mungkin oleh sebab itu kami terus membicarakannya.
Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Kami
sempat menganggap dia adalah pengemis yang diutus kitab suci. Dia bertubuh jangkung tetapi terkesan membungkuk, barangkali karena usia. Peci melingkar di kepala. Jenggot lebat mengitari wajah. Tanpa mengenakan kacamata, membuat matanya yang hampa terlihat lebih suram, dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Biasanya kami saling pijat-memijat dengan istri di rumah masing-masing, itu pun hanya sekadarnya. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang terkilir.

Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan jari. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusuri gang-gang di kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.

Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Serta yang membuat kami semakin hormat, tidak pernah sekali pun dia mematok harga. Dengan biaya murah, bahkan terkadang hanya dengan mengganti sepiring nasi dan teh panas, kami bisa mendapatkan kenikmatan pijat yang tiada tara. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut setiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.

Selain itu, Darko memiliki pembawaan sikap yang ramah, tidak mengherankan bila orang- orang kampung segera merasa akrab dengan dirinya. Dia suka pula menceritakan kisah lucu di sela pijatannya. Meskipun begitu, kami tetap tidak tahu asal-usulnya dengan jelas. Bila kami menanyakannya, dia selalu mengatakan bahwa dirinya berasal dari kampung yang jauh di kaki gunung.
Kemudian kami ketahui, bila malam hampir tandas, Darko kembali ke tempat pemakaman di ujung kampung. Di antara sawah-sawah melintang. Sebuah tempat pemakaman yang muram, menegaskan keterasingan. Di sana terdapat sebuah gubuk yang menyimpan keranda, gentong, serta peralatan penguburan lain yang tentu saja kotor sebab hanya diperlukan bila ada warga meninggal. Di keranda itulah Darko tidur, memimpikan apa saja. Dia selalu mensyukuri mimpi, meskipun percaya mimpi tak akan mengubah apa-apa. Sudah berhari-hari dia tinggal di sana. Tak dapat kami bayangkan bagaimana aroma mayit yang membubung ke udara lewat tengah malam, menggenang di dadanya, menyesakkan pernapasan.
Kami lantas menyarankan supaya menginap di masjid saja. Namun dia tolak. Katanya kini masjid sedang berada di ujung tanduk. Entahlah, dia lebih memilih tinggal di pemakaman, membersihkan kuburan siapa saja.

Seminggu kemudian orang-orang kampung gusar. Pak Lurah mengumumkan bahwa masjid kampung satu-satunya yang berada di jalan utama, akan segera dipindah ke permukiman berimpitan rumah-rumah warga dengan alasan agar kami lebih dekat menjangkaunya. Supaya masjid senantiasa dipenuhi jemaah.
Namun, berhamburan kabar Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk-liuk dan becek seperti garis nasib kami.
Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Sejauh ini kami hanya saling memendam di dalam hati masing-masing tentang dugaan bahwa Darko memiliki kejelian menangkap hari lusa.

Namun diam-diam ketika sedang dipijat, Kurit, seorang warga kampung yang terkenal suka ceplas-ceplos, meminta Darko meramalkan nasibnya. Darko hanya tersenyum sambil gelengkan kepala berkali-kali isyarat kerendahan hati, seakan berkata bahwa dia tidak bisa melakukan

apa-apa selain memijat. Namun Kurit terus mendesak. Akhirnya seusai memijat, Darko pun menuruti permintaannya.
Dengan sikap yang tenang dia mulai mengusap telapak tangan Kurit, menatapnya dengan mata terpejam, kemudian berkata; Telapak tangan adalah pertemuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Entahlah apa maksudnya, Kurit kali ini hanya diam saja, mendengarkan dengan takzim.
”Ada kekuatan tersimpan di telapak tanganmu.”
Kurit serius menyimaknya masih dalam keadaan berbaring.
”Tetap dirawat pertanianmu, rezeki akan terus membuntuti,” tambahnya.
Kurit mengangguk, masih tanpa ucap.
Setelah merasa tak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Berjalan kembali menapaki malam yang lengang. Langkahnya begitu jelas terdengar, gesekan telapak kakinya pada tanah menimbulkan bunyi yang gemetar. Sementara Kurit terus menyimpan ucapan Darko, berharap akan menjadi kenyataan.
***

Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana. Dan bila ada warga meninggal, Darko kerap membantu para penggali kubur. Meski sekadar mengambil air dari sumur, supaya tanah lebih mudah digali.
Begitulah, saat siang hari kami tak pernah melihat Darko keliling kampung. Barangkali dia lebih memilih menyepi dalam hening pemakaman. Ada saja sesuatu yang dia kerjakan. Bahkan yang mungkin tidak begitu penting sekalipun. Mencabuti rerumputan liar di permukaan tanah makam, mengumpulkan dedaunan yang berserakan dengan sapu lidi lalu membakarnya. Padahal, lihatlah betapa daun-daun tidak akan pernah berhenti menciumi bumi. Dia begitu tangkas melakukan itu semua, seakan memang tak pernah ada masalah dengan penglihatannya.

Kurit membenarkan ucapan Darko. Bawang merah yang dipanennya kini lebih besar dan segar daripada hasil panen sebelumnya. Bertepatan dengan naiknya harga bawang yang memang tak menentu. Dengan meluap-luap Kurit menceritakan kejelian Darko membaca nasib seseorang kepada
siapa saja yang dijumpainya. Kabar tentang ramalannya pun bagai udara, beredar di perkampungan.
Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Bila kebetulan kami menjumpainya di jalan dan minta diramal tanpa pijat sebelumnya, Darko tidak akan bersedia melakukannya. Katanya, dia hanya menawarkan jasa pijat, bukan ramalan.
Di warung wedang jahe, orang-orang terus membicarakannya. Mereka saling menceritakan ramalan masing-masing.
”Akan datang kepadaku putri kecil pembawa rezeki.”
”Eh, dia juga bilang, sebentar lagi akan habis masa penantianku,” kata perempuan pemilik warung dengan nada berbunga-bunga. Ia hampir layu menunggu lamaran.
”Dia menyarankan supaya aku beternak ayam saja,” seseorang menambahi.
Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.

Sungguh tak dapat kami pungkiri. Tak dapat kami sangkal, segalanya benar-benar terjadi. Talim dianugerahi bayi perempuan yang sehat dari rahim istrinya. Tak lama jelang itu, Surtini si perawan tua menerima lamaran seorang duda dari kampung sebelah. Sementara Tasrip bergembira mendapati ternak ayamnya gemuk dan lincah. Disusul dengan kejadian-kejadian serupa.
Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu. Ia sebelumnya memang belum pernah merasakan pijatan Darko. Ia lebih memilih pijat ke kampung sebelah yang bersertifikat, menurutnya lebih pantas dipercayai.
Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon. Darko diam beberapa jenak. Kemudian, dengan sangat terang dia pun menyebutkan angka sejumlah empat kali diikuti gerak jari-jari tangannya. Kali ini Pak Lurah yang tersenyum, gembira melintasi raut mukanya.

Seperti biasa, setelah merasa tidak ada sesuatu yang harus dikerjakan, Darko permisi. Membiarkan tubuhnya diterpa angin malam yang lembab.

Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Sementara Pak Lurah kian geram, merasa dilecehkan. Mendapati nomer togel pemberiannya yang tak kunjung tembus. Esoknya, di suatu Jumat yang cerah, Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga—terutama yang lelaki—guna memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Katanya, tanah kuburan semakin sesak, membutuhkan lahan luang yang lebih.
Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya. Dengan memendam perasaan getir kami merobohkan tempat tinggalnya. Dalam hati kami masih sempat bertanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi? Kamar Malas, Januari 2012
Sumber: Koran Kompas Minggu, 1 Juli 2012

Monday, 31 October 2016

Cinta yang Beda

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga.... yeee..." Suara itu dinyanyikan oleh dua sejoli yang tengah merayakan hari jadinya yang kini sudah memasuki tahun ke lima.
"Nggak nyangka ya kita udah lima tahun." Kata Qyara usai meniup lilin bersama Johan, pacarnya.

"Iya. Semoga kita langgeng sampai ke gerbang pernikahan." Sahut Johan.

"Amin." Jawab Qyara.

Tak berapa lama kemudian, Bunda Qyara pulang dari dinas luar.

"Siapa yang ulang tahun Qy? Tanya ibunya sambil menenteng tas kerjanya.

"Hubungan kita berdua bun." Jawab Qyara lirih.

"Halah lebai." Ucap Ibunda sinis.

Hubungan Qyara dan Johan memang tak mendapat restu dari orang tua Qyara. Terlebih dari ayahnya. Setiap Johan singgah ke rumah Qyara, selalu diusirnya.
"Qy, sebentar lagi ayahmu pulang. Ibu nggak mau ada ribut-ribut lagi di rumah ini." Ujar ibunda.

"Bunda habis keluar kota buat kerja itu rasanya capek. Jadi mau istirahat tolong bikin suasana rumah adem." Tambah ibunda.

"Johan! Kamu tau kan maksud saya." tambahnya lagi.

"Bunda. Tolong bersikap baik sedikit pada Johan dong bun." Sahut Qyara.

"Yaudah kalau begitu aku pamit ya sayang." kata Johan.

"Loh kok gitu sih." ujar Qyara.

"Udah. ini demi hubungan kita." Sambil berbisik pada Qyara.

"Saya pamit tante." Ucap Johan.

Tepat sekali, diluar rumah Ayah dari Qyara juga baru saja pulang dan berpapasan dengan Johan.

"Kamu lagi! Ngapain kamu dari rumah saya. Saya harap, ini untuk yang terakhir kalinya yaa.. Saya tidak pernah mengizinkan Qyara berhubungan denganmu. Bukan aku sombong, tapi kita terlahir dengan budaya dan agama yang berbeda.

Monday, 24 October 2016

Hianati

"Aku sangat mencintaimu melebihi apapun. Aku inginkan kamu tuk jadi bidadari dalam rumah tanggaku nanti."

Begitulah gumam seorang pemuda yang bernama Affan sambil memandang penuh cinta sebuah foto di ponsel pintarnya. Dipandangi gadis ayu bergaya setengah modern itu dengan tersenyum-senyum sendiri.
Begitulah hati yang sedang dilanda asmara. Cinta yang begitu dalam pada kekasihnya seolah membuat hidupnya jauh lebih berkualitas dibandingkan sebelumnya.

Affan baru dua bulan menjalin hubungan percintaannya dengan Anggita. Terasa memang masih indah-indahnya. Terlebih, Affan memang sudah agak lama sendiri sehingga ketika dia nyatakan cinta pada Anggita dan diterima itu sungguh rasa bahagia yang tiada terukur lagi.
Ponsel pintarnya bersiul-siul memecahkan lamunan indahnya. Dilihat sebuah pesan online dari sang pujaan hati. Segeralah sigap dibalas dengan kesungguhan hati.

Affan bangkit dari tempat tidur. Diraihnya sebuah kontak motor dan juga jaket andalannya yang tergantung dibalik pintu kamarnya.

"Mau kemana Fan?" Tanya kakaknya.

"Mau keluar sebentar." Jawab Affan.
Dihidupkannya sepeda motor miliknya dan bergegas pergi kesebuah kedai martabak paling kenamaan dikotanya. Rupanya, Anggita ingin sekali makan martabak dari kedai itu. Antrian sudah memanjang. Padahal, kedai baru akan buka setengah jam lagi. Namun, demi sang pacar dia rela antri berdesakan dengan pembeli lainnya.
Untuk melepas rasa jenuh, dia terus saling berchat dengan Anggita hingga setengah jam berlalu.
Sedikit simpul senyum menyembul melihat kedai itu siap melayani pembeli. Namun sungguh sayang, antrean terlalu panjang. Affan harus menunggu lebih lama lagi. Dia mulai gelisah, takut Anggita akan meluapkan amarah. Namun dengan susah payah, Akhirnya Affan dapat membeli martabak sesuai perintah.
Coklat keju, itulah kesukaan Anggita. Affan kemudian memacu motornya lebih cepat untuk menemui Anggita di serambi rumahnya. Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di hadapan mata sang kekasih.
."tiiiin.. tiiiin...

Bunyi klakson dari motor milik Affan. Sebentar dirinya melirik kearah spion motornya untuk memastikan rambutnya rapi tidak berantakan dan untuk menambah kepercayaan diri.
Anggita keluar rumah menggunakan baju merah muda. Begitu cantik di mata Affan.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama." Ujar Affan.

"Aku yang minta maaf sudah merepotkanmu." Sahut Anggita.

"Tidak. Aku tidak merasa direpotkan." Balas Affan.

Anggita kemudian membuatkan Affan secangkir teh hangat untuk teman ngobrol sambil menikmati martabak yang telah dibelinya.
Usai bercanda ria penuh tawa bahagia, Affan pun pamit pulang.

Senyum menawan dari Anggita mengantarkan Affan pulang dengan hati berbunga-bunga.

Malam larut oleh bintang-bintang bertaburan di atas langit cemerlang. Malam itu, Affan tak lekas juga mengantuk. Dibukanya sebuah laptop untuk melihat-lihat account facebooknya. Merasa bosan, dia coba mengecek postingan milik sang pacar. Sungguh pemandangan yang jauh dari perkiraannya. Awalnya, dia hanya ingin melihat status dan juga foto bertabur senyum milik Anggita, namun lebih dari itu yang ia dapatkan. Nampak Anggita berbalas dinding dengan sebuah account pria bernama Boy Dannu. Sungguh mesra sekali terlihatnya membuat hati Affan gelisah tak menentu.

Tak ingin hatinya terus berkecamuk, Affan langsung memhubungi Anggita.
"Tadi habis main facebook ya..?" Tanya Affan.
"Iya." jawab Anggita singkat.
"Akun yang namanya Boy Dannu itu siapa? Kok kamu chatnya mesra banget." Tanya Affan langsung pada pokok permasalahan di hatinya.
"Oh kak Danu. Cieee,,, cemburu yaa.." Begitulah Anggita menanggapi tak serius.
"Ya tanya aja siapa kamu? Abis chatnya gitu banget sih!" ujar Affan.
"Dia itu kakak kelasku waktu SMP dulu kok. Cuma temenan aja. Orangnya baik dan gokil abis deh pokoknya. Jadi ya gitu kalo lg chat. Jangan marah yaa..." pinta Anggita.
"Nggak marah kok. Aku kan cuma tanya." kata Affan yang lega dengan jawaban Anggita.

Besok adalah tepat tiga bulan Affan dan Anggita berpacaran. Affan ingin membuat sesuatu yang spesial untuk mereka berdua agar terkenang. Munculah sebuah ide untuk mengajak Anggita nonton bioskop. Kebetulan saat itu sedang ada film terbaru bergendre romantis.

Ide itu disetujui oleh Anggita. Affan hatinya makin berbunga-bunga.

Usai menonton, Affan mengajak Anggita makan disebuah restoran seafood.
"Menurut kamu, film tadi gimana?" Tanya Affan.
"Bagus. Sangat romantis dan membuat cukup terharu diendingnya." Jawab Anggita.

"Iya yaa.." sahut Affan.

Cinta Affan makin bertumbuh subur pada Anggita. Setiap malam menjelang tidur, memandangi foto Anggita adalah bagian dari rutinitas Affan. Namun, kali ini berbeda. Hatinya gundah gulana. Sejak Affan mengantarkan Anggita usai menonton bioskop, kini Anggita tidak bisa dihubungi lagi. Rumahnya juga kosong. Juga tidak terlihat postingan-postingan apapun dari Anggita. Rindu makin menjalar keseluruh sum-sum tulangnya.

Kali ini, ia coba hubungi Anggita lagi namun hasilnya masih nihil. Tak patah arang sampai di situ saja, Affan untuk kesekian kalinya membuka facebook untuk melihat postingan dari Anggita. Hasilnya sungguh mencengangkan. Tampak sebuah foto yang sungguh mengiris hati. Foto itu diposting oleh akun bernama Boy Dannu dan ditandai ke akun Anggita. Disitu, tampak jelas Danu sedang menyematkan cincin tunangan di jari manis Anggita disaksikan oleh para keluarganya. Banyak komentar selamat yang terlontar dari sahabat keduanya.
Pupus sudah harapan Affan. Mimpi-mimpi indahnya bersama Anggita hancur berkeping-keping. Tak lupa ia ucapkan selamat untuk keduanya.

Affan menutup layar laptopnya dengan dada penuh sesak untuk rasa amarah, kecewa, sakit hati dengan kenyataan yang ada .