Oleh afriasinta
Aku bercermin, memandang sekilas wajahku yang semakin menua. Wajah yang
semakin hari semakin sendu penuh dengan kesedihan-kesedihan luka.
Ku ingat kejadian 12 tahun silam, saat suamiku pergi meninggalkan aku
dan putri tunggalku demi wanita lain. Padahal aku sudah semaksimal mungkin
untuk menjadi seorang istri sekaligus ibu untuk keluarga kecilku itu.
Saat itu Prita, putri kecilku masih berumur dua tahun, harus kehilangan
kasih sayang dari sang Ayah. Entahlah itu salah siapa, rasanya menyalangkan
siapapun juga tak kan membuat kekacauan rumah tanggaku bisa pulih kembali.
Puing-puing rumah tangga selamanya tetaplah menjadi puing kehancuran.
Dulu dirinya mengatakan untuk tak kan pernah meninggalkanku walau
bagaimanapun keadaanku. Namun dirinya tega mengingkari semua itu, padahal telah
terlahir buah cintaku dengannya.
Dengan semua keringatku, ku hidupi anakku seorang diri di bantu
keluarga yang kadang merasa kasihan dengan Prita kecilku.
Kasih sayang tetap aku siramkan pada Prita meski aku sangat kecewa
dengan Ayahnya hingga Prita beranjak dari usia balitanya.
Dengan biaya yang sangat pas-pasan ku menyekolahkan Prita agar kelak
tak menjadi wanita bodoh seperti ibunya yang gampang di bohongi lelaki.
Saat Prita usianya 10 tahun, dirinya mulai aktif dalam kegiatan di
sekolahnya. Akupun sangat mendukung agar Prita tumbuh menjadi gadis periang
selagi kegiatan itu positif.
"Ibu, Prita di ajak oleh ibu guru Prita untuk ikut berkemah."
Kata Prita, gadis kecilku itu.
"Ya kalau kamu mau, pasti ibu akan siapkan segala keperluan
berkemahmu itu sayang." Jawabku.
"Benarkah ibu?" Tanya Prita kegirangan.
"Tentu." Jawabku sembari memberikan senyuman manis padanya.
Aku selalu berusaha untuk membuat Prita, gadis kecilku tersenyum.
Saat jadwal perkemahan tiba, aku ikut mengantarkan Prita beserta
barang-barang keperluannya ke sekolah. Aku titipkan pada guru pembimbing Prita.
Namun ketika mobil yang membawa Prita untuk berangkat kemah, rasanya
aku takut kehilangan atau berpisah dengannya. Namun aku coba menepis perasaan
itu. Mungkin itu hanya perasaanku yang berlebihan saja, sebab selama ini Prita
tak pernah pergi jauh-jauh tanpa aku di sampingnya.
Ku peluk Prita dengan erat seraya kuciumi kedua pipi manisnya itu
seolah tak akan bertemu lagi.
"Hati-hati di sana ya sayang." Kataku padanya.
"Iya ibu," jawabnya dengan semangat.
Kemudian ia menaikki mobil itu. Dengan lambaian tangan kuiringin Prita
bersama teman-temannya saat mobil itu mulai melaju pelan hingga tak nampak lagi
dari pandanganku.
Aku melangkah gontai kembali ke rumahku seorang diri. Rasanya sepi
tanpa canda tawaku bersama Prita.
Dua hari berlalu dan aku berencana membesuk Prita di perkemahan
diantarkan oleh adik sepupuku. Namun belum sampai Andy, adik sepupuku itu
datang menjemput, tiba-tiba beberapa guru justru datang ke rumahku terlebih
dahulu.
Salah seorang guru mengatakan bahwa dari semalam Prita tak kembali ke
bumi perkemahan. Aku sangat khawatir dan aku buru-buru untuk mendatangi tempat
itu.
Seharian aku mencari Prita, namun tak juga kutemui putriku itu. Hingga
kakiku terasa lemas dan akhirnya tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, aku membuka mataku pelan-pelan dan ku kenali atap
rumah dari yang aku pandang.
Inikan kamar tidurku, batinku mengatakan seperti itu.
Aku mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi sebelum aku jatuh
pingsan.
Prita!!! Aku teringat dengan sosok putri kecilku itu. Ku dengar di luar
ramai sekali orang-orang di rumahku tak seperti biasanya dan tiba-tiba semakin
jelas ku dengar Lala, anak dari adik kandungku menagisi Prita.
Aku terbangun dan keluar kamar. Ku melihat Prita kecilku berada di
tengah-tengah kerumunan saudaraku dan berselimut sebuah kain putih. Ku
mendekatinya.
"Prita., Prita, Prita sayangku.." Aku mengoyak-oyak tubuh
Prita berkali-kali namun dia tak terbangun juga hingga mataku kunang-kunang dan
aku jatuh pingsan lagi.
Ku menangis mengingat itu semua. Menangis kehilangan suamiku, menangis
kehilangan Prita, satu-satunya harapan hidupku yang harus pergi meninggalkanku
untuk selama-lamanya hanya karena terpeleset dan hanyut di sungai saat
berkemah.
No comments:
Post a Comment