Saturday, 17 March 2012

Semangat Sang Bunda


Pagi itu ibu telah membuatkanku sarapan. Namun aku masih asik bermain-main di halaman rumah.
“Ricka, ayolah sarapan nak..” Kata ibu padaku.
“Ibu, aku bosan sarapan bersama ibu.” Jawabku
Ibu tak marah ketika itu, justru ibu membawakan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya ke hadapanku.
“Ayo sarapan dulu, sini ibu suapin.” Ibu mendekatiku.
“Aku tak mau ibu.” Jawabku mengelak.
“Cobalah dulu, nanti kalau tak enak rasanya kamu bisa memuntahkan kembali.” Kata ibu sembari memberikan suapan padaku.
Mendengar kata terakhir itu membuatku sadar, betapa ibu sangat menyayangiku dan memperdulikan semua seleraku. Tidaklah mungkin aku memuntahkan makanan itu.
“Ibu tidak makan?” tanyaku.
“Nanti saja.” Jawab ibuku.
“Ayolah ibu kita ke ruang makan. Kita makan bersama-sama.” Pintaku, dan ibu mengiyakannya.
Sampai di ruang makan dan sarapan bersama, aku menanyakan sesuatu pada ibu.
“Ibu, aku ingin makan bersama Ayah. Ayahku ke mana ibu?”
“Ayahmu tak bisa menemanimu makan putriku. Ayah sedang mengawasimu dari langit. Jadi kamu jangan nakal ya?” jawab ibu pelan.
“Langit itu indah ya ibu? Aku ingin ikut bersama Ayah aja kalau gitu bu.” tanyaku polos.
Pelan-pelan air mata ibu keluar dari kelopak mata indahnya
Ibu terlihat susah sekali untuk berkata-kata lagi padaku.
Namun karena desakkanku, ibu terpaksa menceritakan semua yang telah terjadi pada Ayahku.
Pada saat usia pernikahan sudah 7 bulan, maka kandungan ibu sudah memasuki 6 bulan. Ayahku sudah berfirasat bahwa anak yang di kandung ibu ketika itu adalah perempuan. Maka sebuah nama istimewa telah Ayah persiapkan untukku. Semenjak itu, ibu sering sekali dinasehati oleh Ayah dan lebih sering mengatakan bahwa ibu harus bisa merawat anaknya itu bagaimanapun keadaannya, hingga suatu hari Ayah pergi belanja untuk keperluan syukuran karena usia kandungan menginjak usia 7 bulan.
Saat berada di pasar dan memilih-milih sayuran, tiba-tiba mobil truk pengangkut sampah-sampah yang ada di pasar oleng dan menabrak beberapa lapak pedagang sayuran. Saat itu Ayah tak mampu menghindar. Hanya hitungan detik, maka Ayahpun tinggal jasadnya saja dengan beberapa darah berceceran.
Menurut saksi, ketika itu karena Ayah tak mampu menghindar lagi, maka Ayah ikut tersereng ban mobil truk tersebut bersama tumpukan-tumpukan sayuran milik pedagang. Terbungkus oleh sayuran-sayuran yang rusak, tulang Ayah remuk.
Aku ikut sedih ketika ibu menceritakan hal tersebut padaku. Betapa kagetnya ibu ketika mendengar kabar itu. Saat jasad sampai di rumah, ibu langsung tak sadarkan diri. Ibu tak percaya bahwa suaminya telah tiada, padahal tinggal menunggu 2 bulan saja akan hadir buah cinta mereka.
Dengan berbesar hati, ibu mencoba mengiklaskan semua takdir yang telah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa.
2 bulan berlalu, sekitar dini hari perut ibu terasa sakit luar biasa bagai seribu penyakit menjadi satu. Untunglah saudara-saudara yang tinggal bersama ibu langsung siap siaga dan membawa ibu ke rumah sakit untuk bersalin.
Persalinan tak selancar seperti yang di bayangkan. Berjam-jam ibu menunggu kelahiranku tanpa Ayah. Ibu menangis bukan hanya menahan rasa sakit, namun juga merasa sedih sebab ketika ibu tengah mempertaruhkan nyawanya demi aku, ibu tak didampingi oleh sang calon ayah.
Rasa sakit semakin menyeruak seluruh tubuh ibu. Ingin sekali ia mencengkram tangan Ayah sebagai penambah kekuatan saat akan melahirkanku.
Beberapa saat kemudian, aku terlahirlah ke dunia ini. Ketika semua saudara melihat bayi mungil ibu. Ingin sekali ibu berteriak pada mereka dan yang paling berhak menyentuh putrinya itu untu yang pertama kali selain dokter yaitu Ayahnya terlebih dahulu.
Aku tak bisa membayangkan betapa perjuangan ibu dalam membesarkanku seorang diri, menyayangiku dengan sepenuh hati dan tak pernah ia berfikir untuk meninggalkanku.
Tak akan pernah mampu aku membalas semua pengorbananmu ibu tanpa sang Ayah yang seharusnya bisa saling bergantian mendidikku menjadi anak yang berbakti.
Aku berharap semua yang ibu lakukan untukku adalah sebuah tabungan menyusul Ayah ke surga nanti.

No comments:

Post a Comment