Pagi itu ibu telah membuatkanku sarapan. Namun aku
masih asik bermain-main di halaman rumah.
“Ricka, ayolah sarapan nak..” Kata ibu padaku.
“Ibu, aku bosan sarapan bersama ibu.” Jawabku
Ibu tak marah ketika itu, justru ibu membawakan
sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauknya ke hadapanku.
“Ayo sarapan dulu, sini ibu suapin.” Ibu
mendekatiku.
“Aku tak mau ibu.” Jawabku mengelak.
“Cobalah dulu, nanti kalau tak enak rasanya kamu
bisa memuntahkan kembali.” Kata ibu sembari memberikan suapan padaku.
Mendengar kata terakhir itu membuatku sadar, betapa
ibu sangat menyayangiku dan memperdulikan semua seleraku. Tidaklah mungkin aku
memuntahkan makanan itu.
“Ibu tidak makan?” tanyaku.
“Nanti saja.” Jawab ibuku.
“Ayolah ibu kita ke ruang makan. Kita makan
bersama-sama.” Pintaku, dan ibu mengiyakannya.
Sampai di ruang makan dan sarapan bersama, aku
menanyakan sesuatu pada ibu.
“Ibu, aku ingin makan bersama Ayah. Ayahku ke mana
ibu?”
“Ayahmu tak bisa menemanimu makan putriku. Ayah
sedang mengawasimu dari langit. Jadi kamu jangan nakal ya?” jawab ibu pelan.
“Langit itu indah ya ibu? Aku ingin ikut bersama
Ayah aja kalau gitu bu.” tanyaku polos.
Pelan-pelan air mata ibu keluar dari kelopak mata
indahnya
Ibu terlihat susah sekali untuk berkata-kata lagi
padaku.
Namun karena desakkanku, ibu terpaksa menceritakan
semua yang telah terjadi pada Ayahku.
Pada saat usia pernikahan sudah 7 bulan, maka
kandungan ibu sudah memasuki 6 bulan. Ayahku sudah berfirasat bahwa anak yang
di kandung ibu ketika itu adalah perempuan. Maka sebuah nama istimewa telah
Ayah persiapkan untukku. Semenjak itu, ibu sering sekali dinasehati oleh Ayah
dan lebih sering mengatakan bahwa ibu harus bisa merawat anaknya itu
bagaimanapun keadaannya, hingga suatu hari Ayah pergi belanja untuk keperluan
syukuran karena usia kandungan menginjak usia 7 bulan.
Saat berada di pasar dan memilih-milih sayuran,
tiba-tiba mobil truk pengangkut sampah-sampah yang ada di pasar oleng dan
menabrak beberapa lapak pedagang sayuran. Saat itu Ayah tak mampu menghindar.
Hanya hitungan detik, maka Ayahpun tinggal jasadnya saja dengan beberapa darah
berceceran.
Menurut saksi, ketika itu karena Ayah tak mampu
menghindar lagi, maka Ayah ikut tersereng ban mobil truk tersebut bersama
tumpukan-tumpukan sayuran milik pedagang. Terbungkus oleh sayuran-sayuran yang
rusak, tulang Ayah remuk.
Aku ikut sedih ketika ibu menceritakan hal tersebut
padaku. Betapa kagetnya ibu ketika mendengar kabar itu. Saat jasad sampai di
rumah, ibu langsung tak sadarkan diri. Ibu tak percaya bahwa suaminya telah
tiada, padahal tinggal menunggu 2 bulan saja akan hadir buah cinta mereka.
Dengan berbesar hati, ibu mencoba mengiklaskan semua
takdir yang telah direncanakan oleh Yang Maha Kuasa.
2 bulan berlalu, sekitar dini hari perut ibu terasa
sakit luar biasa bagai seribu penyakit menjadi satu. Untunglah saudara-saudara
yang tinggal bersama ibu langsung siap siaga dan membawa ibu ke rumah sakit
untuk bersalin.
Persalinan tak selancar seperti yang di bayangkan.
Berjam-jam ibu menunggu kelahiranku tanpa Ayah. Ibu menangis bukan hanya
menahan rasa sakit, namun juga merasa sedih sebab ketika ibu tengah
mempertaruhkan nyawanya demi aku, ibu tak didampingi oleh sang calon ayah.
Rasa sakit semakin menyeruak seluruh tubuh ibu. Ingin
sekali ia mencengkram tangan Ayah sebagai penambah kekuatan saat akan
melahirkanku.
Beberapa saat kemudian, aku terlahirlah ke dunia
ini. Ketika semua saudara melihat bayi mungil ibu. Ingin sekali ibu berteriak
pada mereka dan yang paling berhak menyentuh putrinya itu untu yang pertama
kali selain dokter yaitu Ayahnya terlebih dahulu.
Aku tak bisa membayangkan betapa perjuangan ibu
dalam membesarkanku seorang diri, menyayangiku dengan sepenuh hati dan tak
pernah ia berfikir untuk meninggalkanku.
Tak akan pernah mampu aku membalas semua
pengorbananmu ibu tanpa sang Ayah yang seharusnya bisa saling bergantian
mendidikku menjadi anak yang berbakti.
Aku berharap semua yang ibu lakukan untukku adalah
sebuah tabungan menyusul Ayah ke surga nanti.
No comments:
Post a Comment