Saturday, 17 March 2012

Tinggal Luka


Oleh : AFRIASINTA

Pagi itu aku bersama teman satu kamarku bergegas berangkat bimbingan belajar. Pada saat itu, aku telah lulus SMA dan persiapan mengikuti test perguruan tinggi. Namun saat mengikuti bimbingan, aku sama sekali tak memiliki semangat tinggi untuk meraih kursi perguruan tinggi favorit. Sebab aku tak menyukai program study yang harus aku ambil dalam perkuliahan nantinya. Semua hanya permintaan orang tuaku, sedangkan harapan kecil yang tumbuh dari dalam hati terpaksa aku kuburkan.
Ketika mengikuti bimbingan belajar, akupun biasa saja. Menjalani hidup dengan seadanya. Ketika sedang dalam ruangan belajar, justru aku lebih aktif untuk berkiriman pesan dengan orang yang saat itu tengah mengisi jiwaku yang kacau.
Tak terasa bel istirahan di bunyikan. Biasanya teman-teman mengajakku untuk bimbingan kerohanian, namun aku sangat lapar saat itu karena saat di bimbingan aku tak pernah sarapan terlebih dahulu sehingga aku dan kedua temanku yaitu Thariie dan Sabrina untuk sarapan di sebuah warung makan yang jaraknya tak jauh dari tempatku menempuh bimbingan belajar.
Segeralah aku memesan makan dan menghabiskan makanan itu lalu menyusul teman-teman lainku untuk mengikuti bimbingan kerohanian.
Usai bimbingan kerohanian, aku segera masuk kembali ke kelas untuk melanjutkan belajar. Aku tetap saja tak mampu memusatkan pikiran untuk belajar. Sama halnya denganku, Sabrina yang duduk di samping kananku juga malah asik telponan dengan pacarnya. Namun berbeda dengan Trariie. Di antara kami bertiga, hanya dia yang memiliki semangat juang yang tinggi dalam belajar.
Usai bimbingan dalam kelas. Kami bertiga pulang ke kosand untuk isoma terlebih dahulu.
Kami bertiga saling canda tawa hingga waktu sudah menandakan bahwa kami harus mengikuti diskusi belajar lagi.
Aku malas sekali sebenarnya. Namun karena tak enak hati dengan Thariie, akhirnya aku langkahkan kaki dengan gontai untuk menemaninya ke tempat bimbingan belajar yang jaraknya tak terlalu jauh dari tempat kosan kami.
Setelah sampai, Sabrina malah pamit mau pulang saja. Dia juga malas jika harus mengikuti diskusi belajar. Saat itu aku mencari pembimbing pelajaran ekonomi yang biasanya selalu berada di lantai tiga.
Saat mulai diadakan diskusi, aku kembali hanya berkirim-kiriman pesan dengan orang yang selalu ada dalam pikiranku. Saat itu dia berniat untuk menjemputku dan aku mengiyakan saja.
Tak berapa lama kemudian dia menelponku dan mengatakan dirinya telah sampai di depan tempatku bimbingan. Dari jendela lantai tiga aku melihat dia sudah berada di bawah sedang menungguku.
Dengan senang hati aku turun dengan cepat dan sampai di depan dia. Dia mengatakan bahwa saat itu dia sedang tak enak badan. Bahkan dia menunjukkan kartu pasien di sebuah rumah sakit di sekitar daerah dia tinggal.
Dia ingin bercerita denganku tentang penyakitnya sehingga aku berinsiatif untuk mengajaknya ke kosanku saja.
Aku berlari kelantai tiga lagi mengambil kunci kamar yang saat itu dibawa Thariie. Temanku itu terheran-heran denganku. Dia yang melihatku selalu bermalas-malas kini aku dengan gesit naik turun tangga.
Sampai di bawah aku diantar kekosan dengannya. Namun sampai di kosan sangatlah ramai sekali karena anak-anak kosan lainnya yang tak ikut berdiskusi belajar sehingga membuatnya tak nyaman bercerita padaku hingga akhirnya dia memutuskan untuk pulang saja.
Namun siapa yang menyangka, pertemuanku itu menjadi pertemuan terakhir dengannya. Dia pergi entah kemana. Aku sama sekali tidak pernah berhubungan dengannya lagi. Betapa sakitnya hati ini karena pada saat bersamanya baru itu saja aku setia dengan satu cinta tak seperti biasanya. Sebab aku merasa dia sukses sekali mengambil hatiku sehingga saat ia pergi dari kehidupanku, akupun sangat terpukul sekali. Susah bagiku untuk bangkit kembali. Siang malamku habis untuk memikirkannya. Kisah yang sungguh berakhir dengan luka dan pedih di hatiku ini. Namun itu semua hanyalah masa lalu.

No comments:

Post a Comment