Oleh : AFRIASINTA
Pagi itu aku bersama teman satu kamarku bergegas
berangkat bimbingan belajar. Pada saat itu, aku telah lulus SMA dan persiapan
mengikuti test perguruan tinggi. Namun saat mengikuti bimbingan, aku sama
sekali tak memiliki semangat tinggi untuk meraih kursi perguruan tinggi
favorit. Sebab aku tak menyukai program study yang harus aku ambil dalam
perkuliahan nantinya. Semua hanya permintaan orang tuaku, sedangkan harapan
kecil yang tumbuh dari dalam hati terpaksa aku kuburkan.
Ketika mengikuti bimbingan belajar, akupun biasa
saja. Menjalani hidup dengan seadanya. Ketika sedang dalam ruangan belajar,
justru aku lebih aktif untuk berkiriman pesan dengan orang yang saat itu tengah
mengisi jiwaku yang kacau.
Tak terasa bel istirahan di bunyikan. Biasanya
teman-teman mengajakku untuk bimbingan kerohanian, namun aku sangat lapar saat
itu karena saat di bimbingan aku tak pernah sarapan terlebih dahulu sehingga
aku dan kedua temanku yaitu Thariie dan Sabrina untuk sarapan di sebuah warung
makan yang jaraknya tak jauh dari tempatku menempuh bimbingan belajar.
Segeralah aku memesan makan dan menghabiskan makanan
itu lalu menyusul teman-teman lainku untuk mengikuti bimbingan kerohanian.
Usai bimbingan kerohanian, aku segera masuk kembali ke
kelas untuk melanjutkan belajar. Aku tetap saja tak mampu memusatkan pikiran
untuk belajar. Sama halnya denganku, Sabrina yang duduk di samping kananku juga
malah asik telponan dengan pacarnya. Namun berbeda dengan Trariie. Di antara
kami bertiga, hanya dia yang memiliki semangat juang yang tinggi dalam belajar.
Usai bimbingan dalam kelas. Kami bertiga pulang ke
kosand untuk isoma terlebih dahulu.
Kami bertiga saling canda tawa hingga waktu sudah
menandakan bahwa kami harus mengikuti diskusi belajar lagi.
Aku malas sekali sebenarnya. Namun karena tak enak
hati dengan Thariie, akhirnya aku langkahkan kaki dengan gontai untuk
menemaninya ke tempat bimbingan belajar yang jaraknya tak terlalu jauh dari
tempat kosan kami.
Setelah sampai, Sabrina malah pamit mau pulang saja.
Dia juga malas jika harus mengikuti diskusi belajar. Saat itu aku mencari
pembimbing pelajaran ekonomi yang biasanya selalu berada di lantai tiga.
Saat mulai diadakan diskusi, aku kembali hanya
berkirim-kiriman pesan dengan orang yang selalu ada dalam pikiranku. Saat itu
dia berniat untuk menjemputku dan aku mengiyakan saja.
Tak berapa lama kemudian dia menelponku dan
mengatakan dirinya telah sampai di depan tempatku bimbingan. Dari jendela
lantai tiga aku melihat dia sudah berada di bawah sedang menungguku.
Dengan senang hati aku turun dengan cepat dan sampai
di depan dia. Dia mengatakan bahwa saat itu dia sedang tak enak badan. Bahkan
dia menunjukkan kartu pasien di sebuah rumah sakit di sekitar daerah dia
tinggal.
Dia ingin bercerita denganku tentang penyakitnya
sehingga aku berinsiatif untuk mengajaknya ke kosanku saja.
Aku berlari kelantai tiga lagi mengambil kunci kamar
yang saat itu dibawa Thariie. Temanku itu terheran-heran denganku. Dia yang
melihatku selalu bermalas-malas kini aku dengan gesit naik turun tangga.
Sampai di bawah aku diantar kekosan dengannya. Namun
sampai di kosan sangatlah ramai sekali karena anak-anak kosan lainnya yang tak
ikut berdiskusi belajar sehingga membuatnya tak nyaman bercerita padaku hingga
akhirnya dia memutuskan untuk pulang saja.
Namun siapa yang menyangka, pertemuanku itu menjadi
pertemuan terakhir dengannya. Dia pergi entah kemana. Aku sama sekali tidak
pernah berhubungan dengannya lagi. Betapa sakitnya hati ini karena pada saat
bersamanya baru itu saja aku setia dengan satu cinta tak seperti biasanya.
Sebab aku merasa dia sukses sekali mengambil hatiku sehingga saat ia pergi dari
kehidupanku, akupun sangat terpukul sekali. Susah bagiku untuk bangkit kembali.
Siang malamku habis untuk memikirkannya. Kisah yang sungguh berakhir dengan
luka dan pedih di hatiku ini. Namun itu semua hanyalah masa lalu.
No comments:
Post a Comment