BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan
bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia
yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang
membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa
jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam
menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian,
bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan
sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki
karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan
terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase
investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan
dalam penulisan features. Bahkan bahasa
jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam
penulisan jurnalisme perdamaian
(McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis
berita utama—ada yang menyebut laporan utama, forum utama-- akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang
dapat mempengaruhi karakteristik bahasa
jurnalistik karena penentuan masalah,
angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun
demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang
dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata,
struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000).
Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki
surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas
yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata
yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam
masyarakat.
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus
dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua
lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain
bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini
dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar.
Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk
menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
1.2. Ruang Lingkup
Ruang
lingkup dalam makalah ini yaitu :
v Ihwal
bahasa jurnalistik, dengan ciri bahasa dalam ragam jurnalistik diantaranya
komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, tidak mubazir dan tidak klise.
v Bahasa
jurnalistik Indonesia hendaknya
banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai
rasa atau yang bersifat ikonis.
v Prinsip
penyusunan kalimat jurnalistik yang berciri padat, singkat, tajam, dan lugas, sederhana dan tidak berbelit,
membatasi kalimat luas,
menggunakan bentuk yang tidak verbalistis,
memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek,
mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif
jelas, tegas, dan tidak kabur makna,
membedakan secara jelas bahasa tutur dan
bahasa tulis, dan
memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek dengan tetap berdasar
pada kaidah-kaidah linguistic.
1.3. Tujuan Pembahasan
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca memiliki
wawasan yang luas tentang bahasa jurnalistik Indonesia yang meliputi :
ª Pengetahuan tentang Ihwal Bahasa Jurnalistik,
ª Memahami
Bahasa Jurnalistik Indonesia,
ª Memiliki
pengetahuan tentang Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Ihwal
Bahasa Jurnalistik
Bahasa ragam juralistik itu sering juga
disebut bahasa ragam pers atau dapat pula disebut bahasa laras media massa.
Adapun entitas-entitas yang biasa dibaca oleh
penikmat media massa kebanyakan ialah berita-berita yang aktual, faktual, dan aneka
macam tulisan yang berkualifikasi hiburan nan menyenangkan. Selain itu, mereka
pada umumnya juga mencermati aneka informasi ringan yang terjadi terkini, yang
tentu saja memenuhi kebutuhan informatif mereka
Khalayak pembaca, juga pada umumnya tidak akan
banyak yang suka memedulikan masalah-masalah teknis dan masalah praktis
kebahasaan dalam ragam bahasa jurnalistik di dalamnya.
Sebagian beranggapan, bahwa memang adalah
tugas dari redaktur, termasuk di dalamnya redaktur bahasa, untuk mengurusi
persoalan-persoalan teknis dan pragmatis dan sisi kebahasaan. Akan tetapi lebih
dari semua itu, satu hal pokok yang bakal mereka tuntut di dalam setiap kali
membaca tulisan di surat kabar adalah, bahwa setiap jurnalis media massa cetak
yang bersangkutan, harus menulis karya-karya dan menyajikan berita-beritanya,
esai-esainya, karangan-karangan khasnya, dengan sungguh-sungguh baik, dengan
amat variatif, berciri tajam dan mendalam, berkarakter bahasa yang lugas, fakta
yang benar, dan tulisan atau karya yang sungguh terpercaya, sehingga kebutuhan
informasi dan niat-niat baca dari khalayak pembaca yang sangat banyak variasi
dan jumlahnya, sepenuhnya terpenuhi
dengan baik.
Kenyatan yang demikian itu tentu saja berbeda
dengan tuntutan dasar bagi seorang jurnalis profesional media massa cetak, yang
notabene adalah ujung tombak tajammya lembaga penerbitan dan percetakan,
pengolah dapurnya informasi bagi
institusi penerbitan atau lembaga pers yang bersangkutan.
Ketidakpedulian akan hal-hal yang sifatnya
teknis dan teoritis, yang bertautan dengan hal-ihwal kebahasaan dalam ragam
Jurnalistik justru pada gilirannya akan dapat berakibat fatal, baik bagi
dirinya sendiri sebagai sosok jurnalis yang harus sungguh-sungguh profesional
dalam menjalankan pekerjaan dan karyanya, maupun bagi khalayak pembaca yang
notabene menjadi konsumennya, dengan jati diri sebagai raja yang mesti
dihormati dan dipenuhi segala kehendak, kemauan, dan preferensinya.
Dengan segala kemampuan dan kekuatan daya
tulisnya yang sungguh sungguh baik, cerdas, cermat, dan teliti, seorang
jurnalis media massa cetak harus bisa memenuhi, membius, dan bahkan memanjakan
khalayak pembaca media massa yang bersangkutan, sehingga mereka akan menjadi
amat betah bertahan membaca, dan berlama-lama memainkan perhatian dan menari-narikan
kedua buah bola mata di atas setiap kolom dan halaman dan media massa cetek
yang bersangkutan.
Di dalam konteks bahasa media elektronik,
utamanya yang melewati peranti elektronik radio, hal yang demikian ini dapat
juga disebut dengan ‘stay tune’, bukan yang sebaliknya justru pendengar
mematikan pesawatnya, atau sekadar memindahkan gelombang radionya ke dalam
gelombang-gelombang lainnya yang lebih memungkinkan untuk keeping tunes.
Kata ‘jurnalistik’, yang dalam bahasa Inggris
disebut journalistick, secara harfiah lazim diartikan sebagai sesuatu yang
bersifat kewartawanan atau berkarakter kejurnalistikan, sesuatu yang
bertali-temali dengan ihwal wartawan atau jurnalis, sesuatu yang bertautan
dengan perihal kejurnalismean atau kewartawanan.
Akan tetapi jika dirunut dengan secara lebih
mendalam lagi, utamanya jika dilihat dari sisi asal-usul kata atau dari sudut
etimologisnya , dalam bahasa Yunani terdapat istilah de jour, yang artinya
‘hari ini’.
Jadi sosok bahasa di dalam ragam jurnalistik
atau bahasa pers itu sesungguhnya menunjuk pada bahasa yang di pakai untuk
menyampaikan sosok fakta, sosok laporan, sosok berita, sosok tulisan, yang
terjadi terkini, yang terjadi terbaru, yakni fakta yang memang terjadi pada
hari ini, bahkan pada saat sekarang ini. Jadi, sekali lagi, bukan sosok
peristiwa yang terjadi di masa-masa lampau dan yang kini sudah lewat atau
bahkan sudah usang yang mesti diangkat di dalam media massa cetak itu.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi, yakni
dalam konteks ilmu komunikasi, sosok jurnalistik itu dapat juga dipandang
sebagai aktivitas menemukan, kegiatan untuk mengolah, dan kegiatan dalam
menyebarkan informasi atau berita kepada khalayak banyak lewat sosok media
massa cetak.
Jumalistik dalam hal-hal tertentu, juga dapat
diartikan sebagai keahlian atau kemahiran di dalam mengumpulkan informasi
terkini, yang ada pada sebuah entitas masyarakat, pada sebuah kelompok sosial
tertentu, meramu dan kemudian melanjutnya dengan secara baik dan dengan sungguh
rapi, sehingga rajutan informasi itu akan dapat disampaikan kepada khalayak
dengan benar-benar baik, dengan sungguh-sungguh lugas, dengan benar-benar
cerdas, tajam, dan terpercaya.
Aktivitas-aktivitas tersebut hanya dapat
dilakukan dengan penuh dedikasi, dengan penuh loyalitas, dengan penuh ketekunan,
dan harus sarat dengan aneka keseriusan oleh jurnalis-jurnalis media massa
cetak yang bersangkutan.
Dalam kerangka ilmu pengetahuan, sosok
jurnalistik sesungguhnya merupakan sub-bidangnya ilmu komunikasi, yakni yang
menyangkut segala macam aktivitas olah informasi, olah bahan atau olah materi
untuk keperluan komunikasi. Kemudian, hasil dari olahan informasi dan materi
itu dikomunikasi dengan secara baik kepada khalayak pembaca, kepada publik
media massa cetak yang bersangkutan.
Para jurnalis dari media massa cetak menggunakan
sosok-sosok bahasa dengan berbagai ragamnya sebagai peranti-peranti dasar dalam
pemediaannya. Tanpa keterlibatan sosok bahasa, baik bahasa yang berciri
ekstralinguistis, bahasa yang berciri ekstralinguistik, maupun sosok bahasa
dalam pengertian yang pasimologis atau yang berciri paralinguistis, mustahil
informasi yang hendak dikomunikasikan oleh jurnalis kepada khalayak itu àkan
dapat terjadi dengan sungguh-sungguh baik dan optimal.
Jadi, peran dan fungsi bahasa di dalam wadah
jurnalistik itu memang sangatlah vital dan amat sentral nan mendasar. Penulis
hendak dengan sangat serius menegaskan, bahwa di dalam kerja jurnalistik,
seorang jurnalis mau tidak mau harus memahami dan memerantikan segala
seluk-beluk pemakaian bahasa atau linguistik itu dengan sungguh-sungguh baik.
Tanpa hal itu semua, pastilah bahasa dari
media massa cetak itu akan hambar dan tidak berwibawa, atau bahkan akan menjadi
berantakan tidak karuan manifestasinya karena cenderung diabaikan. Mungkin saja
media massa cetak tertentu telah memiliki label nasional, telah memiliki
jangkauan pelanggan yang amat luas, telah terpercaya namanya dan sangat
terandal eksistensinya. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi cara
pembahasaannya, cara memerantikan aspek-aspek linguistic di dalamnya, belum
tentu bahwa sosok media massa nasional semacam itu dapat mengungguli media
massa-media massa lokal, tetapi yang memang bahasa jurnalistik benar-benar
digarap dengan secara amat tekun, dengan secara sungguh-sungguh teliti, penuh
dengan kesadaran bahwa media massa cetak itu merupakan salah satu peranti untuk
mendidik dan mencerdaskan masyarakat dalam sebuah bangsa.
Satu hal yang perlu juga untuk dicatat dalam
kaitan dengan hal ini ialah, bahwa sosok bahasa itu bisa dianggap setajam sebilah
sembilu. Kadang kala, dengan hanya menggunakan satu atau dua kata yang sangat
kasar saja, hubungan atau relasi seseorang dengan orang tertentu yang telah
cukup bagus dibangun, bisa menjadi putus dengan serta-merta, bisa menjadi
hancur dengan sejadi-jadinya.
.Secara umum, sosok bahasa dalam ragam
jurnalistik atau bahasa pers itu haruslah memerhatikan ciri-ciri yang amat
mendasar berikut. Bagi para jurnalis sejati, juga para calon jurnalis, harus
memahami kelima ciri bahasa dalam ragam jurnalistik yang meliputi :
»
Komukatif
Bahasa jurnalistik berciri tidak
berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, tetapi harus terus langsung pada pokok
permasalahannya (straight to thepoin). Jadi bahasa jurnalistik itu haruslah
lugas, haruslah sederhana, haruslah tepat diksinya, dan harus pula menarik
sifatnya. Bahasa jurnalistik yang memenuhi tuntutan-tuntutan demikian itu, akan
menjadi bahasa yang komunikatif.
» Spesifik
Bahasa jurnalistik harus disusun dengan
kalimat-kalimat yang singkat-singkat atau pendek-pendek. Bentuk-bentuk
kebahasaan yang sederhana dan mudah diketahui oleh orang kebanyakan. Jadi,
kata-kata yang muncul mesti spesific sifatnya, denotatif maknanya, sehingga
tidak dimungkinkan ada tafsir makna yang ganda. Dengan kespesifikan itu pula
akan terjamin efektifitasnya.
»
Hemat
kata
Bahasa jurnalistik memegang teguh prinsif
ekonomi bahasa/ekonomi kata (economy of words). Bentuk-bentuk kebahasan yang
digunakan dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin sedikit jumlah hurufnya.
Kalimat-kalimat jurnalistik dibuat simpel dan sederhana serta tidak
menumpuk-numpuk gagasannya.
»
Jelas
makna
Di dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin
digunakan kata-kata yang bermakna denotatif, bukan kata-kata yang bermakna
konotatif. Jadi, berhati-hatilah dengan bentuk-bentuk yang santun dan tidak
langsung karena mengandung potensi ketidakjelasan.
»
Tidak
mubazir dan tidak klise
Bentuk mubazir menunjuk pada kata atau frasa
yang sebenarnya, dapat di hilangkan dari kalimat yang menjadi wadahnya, dan
peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti/maknanya. Kata-kata klise atau
stereotype, ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan, membosankan,
terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada variasi, hanya
mengulang-ngulang keterlanjuran. Kata-kata yang demikian lazim disebut dengan
tiring words. Bahasa jurnalistik harus menghindari itu semua, demi maksud
kejelasan, demi maksud kelugasan, dan demi ketajaman penyampaian ide atau
gagasan.
2.2. Bahasa jurnalistik Indonesia
Sosok jurnalistik tidak hanya berkiprah di
dalam wilayah sosial-politik tertentu, tetapi sosok pers juga merambah Semua
ranah sosial-politik, sosial-budaya, Sosial-edukasi pertahanan, sains,
teknologi, yang semuanya serba bertali-temali dengannya.
Maka jurnalistik atau pers itu sesungguhnya
sama sekali tidak dikendalai oleh sekat-sekat umur dan sekat-sekat jenis
kelamin, oleh atas-batas jabatan, oleh latar belakang pendidikan, dan oleh
latar-latar etnis atau suku tertentu. Jurnalistik atau pers bergerak dengan
bebas nan leluasa dan amat melebar, bahkan menembus dan merasuk masuk ke dalam
sekat-sekat dan tembok-tembok tebal nan masif, seperti yang disebutkan di depan
itu.
Yang mengendalai pers itu sesungguhnya
hanyalah satu, yakni bahwa di dalam batas-batas tertentu, kaidah-kaidah umum
kebahasaan yang sedang berlaku, harus sepenuhnya diindahkan olehnya, harus
sepenuhnya diperhatikan oleh media massa itu. Jadi, bahasa jurnalistik
Indonesia tidak bisa lepas dan kaidah-kaidah umum bahasa Indonesia yang berlaku
pada saat sekarang.
Sosok bahasa di dalam ragam jurnalistik itu,
atau bahasa di dalam bahasa pers itu, mau tidak mau haruslah memiliki
sifat—sifat yang khusus atau ciri-ciri yang khas seperti harus singkat, harus
padat, harus sederhana, harus lugas, harus tegas, harus jelas, dan harus
menarik,sebagaimana yang ditegaskan H. Rosihan Anwar (2004), seorang jurnalis
yang amat senior dan kawakan, bahwa ragam bahasa jumalistik itu haruslah
didasarkan pada kaidah-kaidah bahasa baku yang kini berlaku. Jadi, bahasa di
dalam ragam jumalistik sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan
tata bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku.
Demikian pun dengan ihwal kosa-kata atau
perbendàharaan katanya, bahasa ragam jurnalistik atau bahasa pers itu haruslah
senantiasa mengikuti perkembangan kosa-kata yang terjadi dalam masyarakat.
Jadi, tidak sepantasnya bahasa dalam ragam
jurnalistik atau bahasa pers itu bersifat terlalu berdasar pada kamus semata,
terlalu leksikosentris, pilihan kata-katanya tidak pernah membumi melainkan
melangit, tidak banyak dikenal oleh publik pembacanya, terlampau terpancang
pada kearkhaisan atau kekunoan dari kata-kata, dll.
Kata-kata dalam bahasa daerah tertentu dan
kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang terkesan masih relatif asing. relatif
belum biasa digunakan, tidak sering ditemukan dalam pemakaian bahasa
keseharian, selayaknya digunakan dengan penuh pertimbangan dan dengan penuh
kehati-hatian dalam pekerjaan jurnalistik.
Jangan sampai kehadiran kata-kata yang baru,
istilah-istilah yang kadangkala terkesan terlalu dipaksakan oleh sejumlah
jurnalis, gejala-gejala verbalistis yang cenderung dicuatkan oleh sejumlah
jurnalis, yang justru akan menyulitkan pembaca media massa yang bersangkutan,
yang notabene, berasal dari aneka latar lakang, akan menjadi amat kesulitan
dalam memahami.
Ragam bahasa jurntalistik cenderung lebih
berpihak pada manifestasi bahasa yang benar-benar dipakai dalam masyarakat.
Jadi tidak berada pada kata-kata yang melulu di ciptakan oleh para ahli bahasa
atau para linguis semata.
Demikian juga bila Anda suatu saat menemukan
kata-kata atau istilah-istilah yang asing, bersikaplah dengan secara amat
bijaksana dan dengan sangat seksama. Kata-kata atau istilah asing itu dapat
saja digunakan dalam bahasa ragam jurnalistik, tentu dengan cetak miring atau
dengan cetak kursif di dalam penulisannya, jika memang tidak ada kata atau
istilah yang lain dalam bahasa Indonesianya.
Akan tetapi, jika di dalam bahasa Indonesia
terdapat kata atau istilah tertentu sebagai padanan dari bentuk-bentuk asing
tersebut, gunakanlah pertama-tama bentuk bahasa Indonesianya, lalu diikuti
dengan bentuk asingnya yang ditulis di dalam tanda kurung. Jadi jangan malahan
justru terbalik, istilah atau kata asingnya dulu yang disebutkan pertama, baru
kemudian istilah di dalam bahasa Indonesianya. Hal ini bertautan dengan perkara
nasionalisme bahasa.
Hati-hati dengan gejala verbalistis yang
cenderung telah merasuki sebagian warga masyarakat kita, bisa jadi juga kepada
para jurnalis, karena fakta kebahasaan yang demikian itu tidak akan berarti
apa-apa terhadap pemekaran dan pengembangan bahasa kita sendiri
Bahasa jurnalistik Indonesia juga hendaknya
banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai
rasa atau yang bersifat ikonis. Dengan memakai bentuk-bentu beenilai rasa yang
demikian itu, bahasá ragam jumalistik yang Sedang digunakan oleh jurnalis itu
tidak akan terlampau kaku dan terkesan gersang. Sebaliknya, akan menjadi
semakin tegas dan kuat nuansanya.
Misalnya saja, alih-alih menggunakan kata
ditembak petugas gunakan saja istilah ikonis didor petugas. Untuk menekankan
nilai rasa yang lebih, misalnya saja, orang akan menggunakan bentuk menjebloskan
Anu ke dalam penjara dari pada bentuk memasukkan Anu ke dalam penjara.
Demikanlah, hendaknya para jurnalis di
Indonesia itu harus banyak menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang
memiliki nilai rasa, bentuk-bentuk kebahasaan yang bernilai ikonis dan berciri
afektif. Bahasa jurnalistik untuk media massa cetak hendaknya juga harus
dibedakan dengan bahasa pers atau bahasa jumalistik untuk media massa
elektronik. Pasalnya, untuk yang pertama itu ragam bahasanya berciri tulis,
sedangkan untuk yang kedua ciri bahasanya berkarakter tutur.
Bahasa tulis itu memiliki jati diri atau
identitas makna dan representasi bentuk yang tidak sama dengan sosok bahasa
tutur. Aspek-aspek para linguistik, gerak-gerak kinesik, olah mimik dan
intonasi suara, demikian juga jarak bertutur atau proksimik, menjadi sangat
dominan di dalam pemakaian bahasa tutur.
Adapun tata ejaan, tata tulis, keapikan
paragraf, kebakuan dan keefektifan kalimat, diksi atau pilihan kata yang
sungguh tepat dan penyusunan kalimat-kalimat yang berharkat dan bermartabat,
sangatlah penting di dalam sosok bahasa ragam tulis. Jadi, jangan pernah kedua
ragam bahasa itu dicampur adukkan, jangan sampai keduanya saling dirancukan
pemakaiannya.
Ketika Anda menulis di dalam media massa
cetak, jauhkanlah nuansa-nuansa dan karakter-karakter bahasa tutur yang ada di
dalamnya yang sering menggoda diri Anda sebagai jurnalis untuk selalu
menggunakannya. Sebaliknya, ketika Anda berbahasa jurnalistik elektronik,
jauhkanlah kelaziman-kelaziman dan keharusan-keharusan yang ada di dalam bahasa
ragam tulis.
Kelemahan umum dari kebanyakan media cetak
yang kita temui di sekitar kita selama ini adalah, bahwa para jurnalis atau
insan-insan pers itu banyak yang tidak dapat membedakan dengan secara baik,
dengan secara teliti dan bijaksana, apa itu sosok ragam bahasa tutur dan apa
itu sesungguhnya sosok ragam bahasa tulis.
Kelemahan inilah yang menjadikan bobot dari
bahasa jurnalistik atau bahasa pers pada sebagian media massa cetak di dalam
negeri ini terkesan cukup parah dan memprihatinkan.
Kedua jenis ragam bahasa yang sesungguhnya
amat berbeda ciri dan sifatnya, amat berbeda identitas dan karakternya,
dicampuradukkan begitu saja. Maka kalau dicermati, banyak media massa cetak
yang masih memperihatinkan bahasa secara kacau dan sangat berantakan didalam
produksi kesehariannya.
Salah satu tugas utama media massa cetak,
dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa Indonesia, adalah ikut serta di dalam
meluaskan dan menyebarkan bahasa Indonesia yang berjati diri sebagai bahasa
nasional, bahasa negara, kepada masyarakat banyak.
Jadi, fungsi inilah yang harus bersama-sama
diperjuangkan, terlebih-lebih oleh insan-insan pers, oleh para jurnalis
profesional, yang berjati diri sebagai penjaga gawang atau gate-keepers dan
tepat, cermat, dalam pemakaian bahasa kita.
2.3. Prinsip
Penyusunan Kalimat jurnalistik
Terdapat 10 prinsip dasar bagi para jurnalis
atau insan pers, juga untuk para calon jurnalis, untuk menyusun kalimat-kalimat
jurnalistik di dalam setiap karya mereka di media massa, yaitu :
1) Berciri padat,
singkat, tajam, dan lugas.
Dari sisi kebahasaan, tulisan yang demikian
panjang ini cenderung akan menghadirkan banyak kesalahan dan aneka kerancuan
dalam praktik berbahasa. Jadi, biasakanlah untuk menjadi ekonomis dalam
berbahasa jurnalistik. Jangan suka berpanjang-panjang. Bukankah word-economy
atau ekonomi kata, merupakan salah satu prinsip dalani pemakaian bahasa
jurnalistik yang berlaku universal.
Kata-kata mubazir seperti bahwa, oleh, untuk.
yang kehadiran dan ketidak hadirannya kadangkala tidak mengubah arti atau
makna, seharusnya juga dihindari oleh jurnalis yang hendak menjadikan dirinya
profesional.
Selain bentuk-bentuk mubazir, para jurnalis
juga harus kritis terhadap kata-kata yang sifatnya kontaminatif, yang sifatnya
rancu, dan redundant bentuk disebabkan karena jelas merupakan bentuk yang
keliru.
Hendaknya ide-ide yang panjang berbelit itu
dipisahkan dan diwujudkan di dalam kalimat-kalimat yang pendek, kalimat-kalimat
yang singkat, kalimat-kalimat yang sederhana, sehingga menjadi jelas, tegas,
tajam, dan tidak rancu.
2) Berciri sederhana dan tidak berbelit
Jurnalis yang menjunjung tinggi
profesionalitas itu haruslah selalu menyusun kalimat-kalimat dan bahasanya
sedemikian rupa sehingga mudah diserap, gampang dipahami, bentuknya sederhana,
dan sama sekali tidak bérbelit-belit wujudnya.
Terlebih-lebih kalau hal tersebut diimbangi
dengan latihan dan pembiasaan yang cukup tekun, cukup rutin, maka ihwal membuat
tulisaf-tulisan jurnalistik yang sederhana, tulisan yang tidak berbelit-belit,
mustahil akan menjadi pekerjaan yang menyulitkan bagi mereka.
Maka, kata kuncinya lalu adalah berlatih dan
terus berlatih untuk menulis.Menulis sama sekali bukanlah proses yang pendek,
sederhana, dan instan. Untuk menjadi penulis yang baik, orang harus tekun untuk
berlatih membuat tulisan.
Kalimat jurnalistik yang sederhana itu tidak
boleh terdiri dari klausa-klausa dan frasa-frasa yang terlampau rumit.
Ihwal kalimat sederhana dan penghindaran
terhadap kerumitan dan keberbelitan, pastilah bertautan dengan ihwal keberanian
Anda untuk membuang jauh-jauh bentuk-bentuk mubazir dalam aktivitas berbahasa,
menyederhanakan bentuk-bentuk yang rancu dalam aktivitas berbahasa,
menyingkirkan bentuk-bentuk kontaminatif dalam aktivitas berbahasa, dll.
3) Membatasi kalimat luas
Jika tidak mungkin diungkapkan dengan kalimat
sederhana, baru Anda dipersilakan menggunakan kalimat-kalimat luas, baik yang
setara (complex sentence) maupun kalimat yang tidak setara (complex sentence).
Jika sangat terpaksa, bahkan Anda dapat juga
menggunakan kalimat luas campuran (compound complex sentence). Akan tetapi,
sekali lagi, preferensi Anda sebagai Jurnalis haruslah pada kalimat-kalimat
yang sederhana, kalimat yang lugas, dan kalimat yang tidak ganda makna.
Tidak jarang para jurnalis yang sudah lama
berkiprah dengan dunia tulis-menulis, akan mengalami banyak kesulitan dan menghadapi
banyak sekali ketidaktepatan ketika mereka berurusan dengan sosok kalimat luas.
Dengan mempertimbangkan semua itu, memperhitungkan
semua fakta kebahasaan yang demikian itu, maka sedapat mungkin, Anda sebagai
jurnalis yang profesional, harus membatasi diri terhadap kalimat-kalimat yang
luas dan tidak Sederhana demikian itu.
4) Menggunakan bentuk yang tidak verbalistis
Sejumlah orang mungkin beranggapan, bahwa
dengan bahasa yang cenderung berciri verbalistis itu, mereka akan mendapatkan
penghargaan dan atau penghormatan yang cenderung berlebih.
Akan tetapi yang terjadi justru adalah yang
sebaliknya, ketika berkata-kata dan berbicara dengan bahasa yang sangat tidak
sederhana, orang telah membangun inkredibilitas dirinya di depan khalayak
publiknya.
Maka hindarkanlah keklisean atau
keprototipean, hindarkanlah bentuk-bentuk berulang yang hanya itu-itu saja,
hindarkanlah keverbalistisan, dan hindarkanlah kemuluk-mulukan, ketika Anda
menyajikan tulisan di media massa.
5) Memiliki
preferensi pada bentuk-bentuk pendek
Bentuk-bentuk kebahasaan yang singkat,
konstruksi-konstruksi yang pendek dan yang sederhana, dapat juga digunakan
untuk menyatakan gagasan dan/atau ide yang tidak selalu sederhana.
Sebaliknya, tidaklah selalu bahwa
bentuk-bentuk kebahasaan yang panjang, bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak
sederhana, yang cenderung berciri rumit, pasti akan dapat dipakai untuk
menyatakan maksud atau makna yang kompleks dan berciri tidak sederhana.
Kenyataan kebahasaan demikian ini sesugguhnya
menegaskan, bahwa sosok bahasa itu memang pada hakikatnya sangatlah tajam,
sangatlah runcing, bahkan dia bisa menghunjam dalam-dalam dan tajamnya melebihi
sebilah sembilu bambu warna biru.
Jelas sekali, preferensi mereka itu memang
berada pada dimensi-dimensi kesingkatan, kepadatan, kelugasan, dan
kesederhanaan.
6) Mengutamakan
bentuk positif dan bentuk aktif
Bahasa jurnalistik tidak mengharamkan
bentuk-bentuk kalimat negatif dan bentuk-bentuk kalimat pasif. Keduanya
merupakan bentuk linguistik yang sah, keduanya merupakan bentuk kebahasaan yang
benar.
Oleh karenanya bentuk-béntuk yang ada dalam
linguistik, hendaknya digunakan secara vanatif dan seimbang dalam bahasa
jurnalistik
Dan sisi maknanya, memang secara umum dapat
dikatakan bahwa bentuk-bentuk positif dan bentuk-bentuk aktif itu memberikan
implikasi makna yang tegas dan lebih lugas.
Maka dalam hemat penulis, dan hendaknya hal
demikian ini diperhatikan sekali oleh para jurnalis, bahwa bentuk-bentuk
kebahasaan demikian itu haruslah digunakan dengan secara seimbang. Tidak ada
bentuk kebahasaan yang harus diharamkan. Tidak ada konstruksi kebahasaan yang
harus dikarantinakan.
7) Berciri
jelas, tegas, dan tidak kabur makna.
Tidak banyak orang yang mampu berbahasa atau
menyampaikan gagasan dan idenya lewat peranti bahasa dengan secara jelas,
tegas, dan bebas dari aneka kekaburan makna.
Kekaburan makna yang demikian itu bisa terjadi
karena berbagai macam hal, misalnya saja karena pilihan kata atau diksinya,
karena berlebihan penggunaan kata-katanya, karena salah dalam menempatkan
bagian-bagian kalimatnya. Hendaknya semua kelemahan dan kesalahan dalam
berbahasa yang demikian ini disikapi secara amat serius oleh para jurnalis
Indonesia.
Para jurnalis juga mesti memerhatikan
kaidah-kaidah kebahasaan yang selama ini ada dan berlaku. Bahasa ragam
jurnalistik juga harus mengindahkan tata tulis dan tata ejaan yang sedang
berlaku. Kalau dengan kelaziman-kelaziman jurnalistik yang selama ini ada,
kekaburan dan ketidak jelasan penggunaan bahasa itu tidak dapat dijamin ketidak
adaannya, kenapa para jurnalis harus terus bersikutat pada pemahaman sosok
bahasa jurnalistik yang selama ini dimilikinya.
Kekaburan, ketidaklugasan, kemubaziran,
kemaknagandaan, harus senantiasa dihilangkan dan kancah bahasa dan kalimat
jurnalistik Indonesia.
8) Membedakan secara jelas bahasa tutur dan
bahasa tulis.
Dalam sosok media cetak, ragam bahasa
jurnalisliknya selalu harus berciri tulis, sedangkan di dalam media elektronik
dan media visual-elektronik, ragam bahasa jurnalistiknya selalu bersifat tutur.
Bahasa dalam ciri tulis sangatlah berbeda
identitas dan jati dirinya dengan bahasa dalam ragam tutur. Anda, para jurnalis
profesional, tidak boleh mencampur-adukkan keduanya secara serampangan.
Romli (2004) menyebutkan bahwa di antaranya,
bahasa ragam tutur itu memiliki ciri-ciri yang berikut ini: kalimatnya
pendek-pendek,
menggunakan kata-kata yang biasa diucapkan
(spoken language, convemational language, everyday language), satu ide satu
kalimat (menghindari kalimat majemuk atau kalimat luas),
Berkaitan dengan ciri yang pertama, yakni
bahwa kalimat-kalimat dalam ragam bahasa tutur harus pendek, kiranya perlu
diperhatikan juga di dalam bahasa jurnalistik tulis untuk media massa cetak.
Pasalnya, kalimat-kalimat yang pendek, yang hanya berisi satu ide, akan
memudahkan pembaca media massa cetak yang bersangkutan untuk memahami.
Berkenaan dengan ciri kedua, yakni bahwa
bahasa tutur harus menggunakan kata-kata yang biasa (every days peech spoken
words), tidak sepenuhnya perlu diikuti di dalam bahasa jurnalistik ragam tulis
untuk media cetak.
Berkaitan dengan ciri ketiga, yakni bahwa satu
kalimat di dalam bahasa tutur harus disampaikan dalam satu nafas, kiranya juga
tidak perlu diikuti secara salah kaprah dalam media massa cetak. Karena bahasa
media cetak tidak bertautan dengan persoalan nafas, cara penyampaiannya
cenderung sedikit lebih luwes dan lebih fleksibel.
Berkenaan dengan ciri yang terakhir atau ciri
yang keempat, yakni harus menggunakan kalimat yang tidak langsung, media massa
cetak cenderung berciri lebih longgar dan lebih leluasa.
Jadi jelas, bahwa bahasa ragam jurnalistik
tulis itu seungguhnya cenderung untuk jauh lebih luwes dan fleksibel jika
dibandingkan dengan bahasa ragam jurnalistik tutur.
Baik bahasa ragam jurnalistik tulis maupun
bahasa ragam jurnalistik lisan atau tutur, harus senantiasa memerhatikan kelima
ciri bahasa jurnalistik atau bahasa pers seperti disebutkan di depan. Tanpa
memerhatikan dan mencermati itu semua, maka bahasa yang digunakan di dalam
media massa, entah cetak entah elektronik, akan dapat kehilangan ruh-ruh
mendasarnya.
9) Memiliki preferensi pada bentuk yang
sederhana, pendek dengan tetap berdasar pada kaidah-kaidah linguistic
Bahasa jurnalistik memang harus tegas terhadap
kemubaziran, dia juga harus berani memangkas keruwetan pengungkapan. Jadi di
dalam bahasa ragam jurnalisiik, hanya bentuk-bentuk kebahasaan yang sifatnya
mubazir sajalah yang harus dibuang. yang harus dikurangi, yang harus
ditanggalkan.
Perlu sekali disadari bahwa bahasa media massa
itu juga dimaksudkan untuk mendidik masyarakat umum di dalam praktik berbahasa.
Sehingga bahasa media massa cetak itu tidak serta merta bebas dan merdeka,
lepas dari kaidah-kaidah kebahasaan atau aturan linguistik yang ada.
Penyimpangan tertentu memang bisa
dimungkinkan, sejauh rambu-rambu untuk menyimpang dan kaidah-kaidah yang
berlaku tersebut memang disinyalkan. Maka bilamana tidak marilah kaidah-kaidah
linguisik dan kaidah-kaidah jurnalistik itu bersama-sama kita seimbangkan,
sehingga nantinya akan terlahir ragam bahasa jurnalistik Indonesia yang
benar-benar luwes, yang tidak terlalu kaku, dan yang serasa pas dicerna oleh
semua kalangan.
10) Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena
interferensi bahasa asing.
Preferensi pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan,
sesungguhnya mengindikasikan apakah sosok penulis itu tengolong orang
nasionalis, ataukah bukan nasionalis. Artinya, pemakaian bahasa itu dekat
dengan persoalan nasionalisme.
Demikian pula bentuk-bentuk kebahasaan yang
digunakan oleh seseorang, akan sekaligus menunjukkan apakah dirinya tergolong
seorang yang verbalistis, suka menggutakan bentuk-bentuk asing dengan tidak
mengerti secara pasti dan secara persis makna atau artinya, ataukah justru yang
sebaliknya.
Jika bahasa ragam jurnalistik kita telah
didominasi oleh tumpukan-tumpukan interferensi, biasanya dan bahasa yang lebih
kuat (power full), niscaya banyak orang akan mempertanyakan nasionalisme
kebahasaan kita di dalam praktik berbahasa jurnalistik.
Dalam bahasa Inggris, kehadiran sebuah
preposisi atau kata depan seperti in, on, at,di depan nomina atau kata benda
adalah sebuah keharusan.
Akan tetapi, di dalam bahasa Indonesia,
kenyataan kebahasaan itu tidaklah demikian. Jadi, salah jika dipaksakan
digunakan bentuk yang demikian itu di dalam praktik bahasa jurnalistik
Indonesia. itu keliru dan dalam hemat saya harus dihentikan.
Terdapat
empat prinsip retorika tekstual yang
dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip
ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
- Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2. Prinsip kejelasan,
yaitu agar teks itu mudah dipahami.
Prinsip ini
menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan.
Teks yang tidak
mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat
dipahami.
3. Prinsip ekonomi.
Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan
mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan
menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh
ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini.
Untuk
mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya
cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan
(iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara
mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik.
4. Prinsip ekspresivitas.
Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan
agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana
jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya,
yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian
pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang
terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi
kemudian dipaparkan kemudian.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bahasa
jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam
menulis karya-karya jurnalistik di media massa.
Kata ‘jurnalistik’, yang dalam bahasa Inggris
disebut journalistick, secara harfiah lazim diartikan sebagai sesuatu yang
bersifat kewartawanan atau berkarakter kejurnalistikan, sesuatu yang
bertali-temali dengan ihwal wartawan atau jurnalis, sesuatu yang bertautan
dengan perihal kejurnalismean atau kewartawanan.
ciri
bahasa dalam ragam jurnalistik diantaranya komunikatif, spesifik, hemat kata,
jelas makna, tidak mubazir dan tidak klise.
Bahasa
jurnalistik Indonesia hendaknya
banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai
rasa atau yang bersifat ikonis.
Prinsip
penyusunan kalimat jurnalistik memiliki ciri yaitu padat, singkat, tajam, dan lugas,
sederhana dan tidak berbelit,
membatasi kalimat luas,
menggunakan bentuk yang tidak verbalistis,
memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek,
mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif
jelas, tegas, dan tidak kabur makna,
membedakan secara jelas bahasa tutur dan
bahasa tulis, dan
memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek dengan tetap berdasar
pada kaidah-kaidah linguistic.
empat
prinsip retorika tekstual yang
dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip
ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
3.2. Saran
Setelah
membaca makalah ini, pembaca terutama para jurnalis atau calon jurnalis dapat
mengetahui sosok bahasa di dalam jurnalistik, kaidah – kaidah di dalam bahasa
jurnalistik, serta prinsip – prinsip penyusunan jurnalistik. Dengan mengetahui
wawasan tentang kebahasaan dalam jurnalistik maka akan meminimalkan kesalahan
di dalam penerapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardi,
M. Hum, Dr. R. Kunjana. 2003. Asik
Berbahasa Jurnalistik. Malang : Dioma
Suroso
(2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas
Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP.
http://blog.binadarma.ac.id/yudi/?p=10
No comments:
Post a Comment