Saturday, 17 March 2012

Jurnalistik


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang

Bahasa jurnalistik atau biasa disebut dengan bahasa pers, merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa Indonesia yang memiliki kaidah-kaidah tersendiri yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain.
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.

Bahasa jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam penulisan features.  Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas seperti dalam penulisan  jurnalisme perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama—ada yang menyebut laporan utama, forum utama--  akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang dapat  mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000).
Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.  
Sifat-sifat tersebut merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya  dengan mengutamakan daya komunikasinya.

1.2.    Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam makalah ini yaitu :
v  Ihwal bahasa jurnalistik, dengan ciri bahasa dalam ragam jurnalistik diantaranya komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, tidak mubazir dan tidak klise.
v  Bahasa jurnalistik Indonesia hendaknya banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai rasa atau yang bersifat ikonis.
v  Prinsip penyusunan kalimat jurnalistik yang berciri padat, singkat, tajam, dan lugas, sederhana dan tidak berbelit, membatasi kalimat luas, menggunakan bentuk yang tidak verbalistis, memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek, mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif jelas, tegas, dan tidak kabur makna, membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis, dan memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek dengan tetap berdasar pada kaidah-kaidah linguistic.

1.3.    Tujuan Pembahasan
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca memiliki wawasan yang luas tentang bahasa jurnalistik Indonesia yang meliputi :
ª      Pengetahuan tentang Ihwal Bahasa Jurnalistik,
ª      Memahami Bahasa Jurnalistik Indonesia,
ª      Memiliki pengetahuan tentang Prinsip Penyusunan Kalimat Jurnalistik.

























BAB II
PEMBAHASAN


2.1.    Ihwal Bahasa Jurnalistik
Bahasa ragam juralistik itu sering juga disebut bahasa ragam pers atau dapat pula disebut bahasa laras media massa.
Adapun entitas-entitas yang biasa dibaca oleh penikmat media massa kebanyakan ialah berita-berita yang aktual, faktual, dan aneka macam tulisan yang berkualifikasi hiburan nan menyenangkan. Selain itu, mereka pada umumnya juga mencermati aneka informasi ringan yang terjadi terkini, yang tentu saja memenuhi kebutuhan informatif mereka
Khalayak pembaca, juga pada umumnya tidak akan banyak yang suka memedulikan masalah-masalah teknis dan masalah praktis kebahasaan dalam ragam bahasa jurnalistik di dalamnya.
Sebagian beranggapan, bahwa memang adalah tugas dari redaktur, termasuk di dalamnya redaktur bahasa, untuk mengurusi persoalan-persoalan teknis dan pragmatis dan sisi kebahasaan. Akan tetapi lebih dari semua itu, satu hal pokok yang bakal mereka tuntut di dalam setiap kali membaca tulisan di surat kabar adalah, bahwa setiap jurnalis media massa cetak yang bersangkutan, harus menulis karya-karya dan menyajikan berita-beritanya, esai-esainya, karangan-karangan khasnya, dengan sungguh-sungguh baik, dengan amat variatif, berciri tajam dan mendalam, berkarakter bahasa yang lugas, fakta yang benar, dan tulisan atau karya yang sungguh terpercaya, sehingga kebutuhan informasi dan niat-niat baca dari khalayak pembaca yang sangat banyak variasi dan jumlahnya, sepenuhnya terpenuhi dengan baik.

Kenyatan yang demikian itu tentu saja berbeda dengan tuntutan dasar bagi seorang jurnalis profesional media massa cetak, yang notabene adalah ujung tombak tajammya lembaga penerbitan dan percetakan, pengolah dapurnya  informasi bagi institusi penerbitan atau lembaga pers yang bersangkutan.
Ketidakpedulian akan hal-hal yang sifatnya teknis dan teoritis, yang bertautan dengan hal-ihwal kebahasaan dalam ragam Jurnalistik justru pada gilirannya akan dapat berakibat fatal, baik bagi dirinya sendiri sebagai sosok jurnalis yang harus sungguh-sungguh profesional dalam menjalankan pekerjaan dan karyanya, maupun bagi khalayak pembaca yang notabene menjadi konsumennya, dengan jati diri sebagai raja yang mesti dihormati dan dipenuhi segala kehendak, kemauan, dan preferensinya.
Dengan segala kemampuan dan kekuatan daya tulisnya yang sungguh sungguh baik, cerdas, cermat, dan teliti, seorang jurnalis media massa cetak harus bisa memenuhi, membius, dan bahkan memanjakan khalayak pembaca media massa yang bersangkutan, sehingga mereka akan menjadi amat betah bertahan membaca, dan berlama-lama memainkan perhatian dan menari-narikan kedua buah bola mata di atas setiap kolom dan halaman dan media massa cetek yang bersangkutan.
Di dalam konteks bahasa media elektronik, utamanya yang melewati peranti elektronik radio, hal yang demikian ini dapat juga disebut dengan ‘stay tune’, bukan yang sebaliknya justru pendengar mematikan pesawatnya, atau sekadar memindahkan gelombang radionya ke dalam gelombang-gelombang lainnya yang lebih memungkinkan untuk keeping tunes.
Kata ‘jurnalistik’, yang dalam bahasa Inggris disebut journalistick, secara harfiah lazim diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kewartawanan atau berkarakter kejurnalistikan, sesuatu yang bertali-temali dengan ihwal wartawan atau jurnalis, sesuatu yang bertautan dengan perihal kejurnalismean atau kewartawanan.
Akan tetapi jika dirunut dengan secara lebih mendalam lagi, utamanya jika dilihat dari sisi asal-usul kata atau dari sudut etimologisnya , dalam bahasa Yunani terdapat istilah de jour, yang artinya ‘hari ini’.
Jadi sosok bahasa di dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers itu sesungguhnya menunjuk pada bahasa yang di pakai untuk menyampaikan sosok fakta, sosok laporan, sosok berita, sosok tulisan, yang terjadi terkini, yang terjadi terbaru, yakni fakta yang memang terjadi pada hari ini, bahkan pada saat sekarang ini. Jadi, sekali lagi, bukan sosok peristiwa yang terjadi di masa-masa lampau dan yang kini sudah lewat atau bahkan sudah usang yang mesti diangkat di dalam media massa cetak itu.
Dalam pengertian yang lebih luas lagi, yakni dalam konteks ilmu komunikasi, sosok jurnalistik itu dapat juga dipandang sebagai aktivitas menemukan, kegiatan untuk mengolah, dan kegiatan dalam menyebarkan informasi atau berita kepada khalayak banyak lewat sosok media massa cetak.
Jumalistik dalam hal-hal tertentu, juga dapat diartikan sebagai keahlian atau kemahiran di dalam mengumpulkan informasi terkini, yang ada pada sebuah entitas masyarakat, pada sebuah kelompok sosial tertentu, meramu dan kemudian melanjutnya dengan secara baik dan dengan sungguh rapi, sehingga rajutan informasi itu akan dapat disampaikan kepada khalayak dengan benar-benar baik, dengan sungguh-sungguh lugas, dengan benar-benar cerdas, tajam, dan terpercaya.
Aktivitas-aktivitas tersebut hanya dapat dilakukan dengan penuh dedikasi, dengan penuh loyalitas, dengan penuh ketekunan, dan harus sarat dengan aneka keseriusan oleh jurnalis-jurnalis media massa cetak yang bersangkutan.
Dalam kerangka ilmu pengetahuan, sosok jurnalistik sesungguhnya merupakan sub-bidangnya ilmu komunikasi, yakni yang menyangkut segala macam aktivitas olah informasi, olah bahan atau olah materi untuk keperluan komunikasi. Kemudian, hasil dari olahan informasi dan materi itu dikomunikasi dengan secara baik kepada khalayak pembaca, kepada publik media massa cetak yang bersangkutan.

Para jurnalis dari media massa cetak menggunakan sosok-sosok bahasa dengan berbagai ragamnya sebagai peranti-peranti dasar dalam pemediaannya. Tanpa keterlibatan sosok bahasa, baik bahasa yang berciri ekstralinguistis, bahasa yang berciri ekstralinguistik, maupun sosok bahasa dalam pengertian yang pasimologis atau yang berciri paralinguistis, mustahil informasi yang hendak dikomunikasikan oleh jurnalis kepada khalayak itu àkan dapat terjadi dengan sungguh-sungguh baik dan optimal.
Jadi, peran dan fungsi bahasa di dalam wadah jurnalistik itu memang sangatlah vital dan amat sentral nan mendasar. Penulis hendak dengan sangat serius menegaskan, bahwa di dalam kerja jurnalistik, seorang jurnalis mau tidak mau harus memahami dan memerantikan segala seluk-beluk pemakaian bahasa atau linguistik itu dengan sungguh-sungguh baik.
Tanpa hal itu semua, pastilah bahasa dari media massa cetak itu akan hambar dan tidak berwibawa, atau bahkan akan menjadi berantakan tidak karuan manifestasinya karena cenderung diabaikan. Mungkin saja media massa cetak tertentu telah memiliki label nasional, telah memiliki jangkauan pelanggan yang amat luas, telah terpercaya namanya dan sangat terandal eksistensinya. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi cara pembahasaannya, cara memerantikan aspek-aspek linguistic di dalamnya, belum tentu bahwa sosok media massa nasional semacam itu dapat mengungguli media massa-media massa lokal, tetapi yang memang bahasa jurnalistik benar-benar digarap dengan secara amat tekun, dengan secara sungguh-sungguh teliti, penuh dengan kesadaran bahwa media massa cetak itu merupakan salah satu peranti untuk mendidik dan mencerdaskan masyarakat dalam sebuah bangsa.
Satu hal yang perlu juga untuk dicatat dalam kaitan dengan hal ini ialah, bahwa sosok bahasa itu bisa dianggap setajam sebilah sembilu. Kadang kala, dengan hanya menggunakan satu atau dua kata yang sangat kasar saja, hubungan atau relasi seseorang dengan orang tertentu yang telah cukup bagus dibangun, bisa menjadi putus dengan serta-merta, bisa menjadi hancur dengan sejadi-jadinya.
.Secara umum, sosok bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers itu haruslah memerhatikan ciri-ciri yang amat mendasar berikut. Bagi para jurnalis sejati, juga para calon jurnalis, harus memahami kelima ciri bahasa dalam ragam jurnalistik yang meliputi :
»        Komukatif
Bahasa jurnalistik berciri tidak berbelit-belit, tidak berbunga-bunga, tetapi harus terus langsung pada pokok permasalahannya (straight to thepoin). Jadi bahasa jurnalistik itu haruslah lugas, haruslah sederhana, haruslah tepat diksinya, dan harus pula menarik sifatnya. Bahasa jurnalistik yang memenuhi tuntutan-tuntutan demikian itu, akan menjadi bahasa yang komunikatif.
»     Spesifik
Bahasa jurnalistik harus disusun dengan kalimat-kalimat yang singkat-singkat atau pendek-pendek. Bentuk-bentuk kebahasaan yang sederhana dan mudah diketahui oleh orang kebanyakan. Jadi, kata-kata yang muncul mesti spesific sifatnya, denotatif maknanya, sehingga tidak dimungkinkan ada tafsir makna yang ganda. Dengan kespesifikan itu pula akan terjamin efektifitasnya.
»        Hemat kata
Bahasa jurnalistik memegang teguh prinsif ekonomi bahasa/ekonomi kata (economy of words). Bentuk-bentuk kebahasan yang digunakan dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin sedikit jumlah hurufnya. Kalimat-kalimat jurnalistik dibuat simpel dan sederhana serta tidak menumpuk-numpuk gagasannya.
»        Jelas makna
Di dalam bahasa jurnalistik sedapat mungkin digunakan kata-kata yang bermakna denotatif, bukan kata-kata yang bermakna konotatif. Jadi, berhati-hatilah dengan bentuk-bentuk yang santun dan tidak langsung karena mengandung potensi ketidakjelasan.

»        Tidak mubazir dan tidak klise
Bentuk mubazir menunjuk pada kata atau frasa yang sebenarnya, dapat di hilangkan dari kalimat yang menjadi wadahnya, dan peniadaan kata-kata tersebut tidak mengubah arti/maknanya. Kata-kata klise atau stereotype, ialah kata-kata yang berciri memenatkan, melelahkan, membosankan, terus hanya begitu-begitu saja, tidak ada inovasi, tidak ada variasi, hanya mengulang-ngulang keterlanjuran. Kata-kata yang demikian lazim disebut dengan tiring words. Bahasa jurnalistik harus menghindari itu semua, demi maksud kejelasan, demi maksud kelugasan, dan demi ketajaman penyampaian ide atau gagasan.

2.2.    Bahasa jurnalistik Indonesia
Sosok jurnalistik tidak hanya berkiprah di dalam wilayah sosial-politik tertentu, tetapi sosok pers juga merambah Semua ranah sosial-politik, sosial-budaya, Sosial-edukasi pertahanan, sains, teknologi, yang semuanya serba bertali-temali dengannya.
Maka jurnalistik atau pers itu sesungguhnya sama sekali tidak dikendalai oleh sekat-sekat umur dan sekat-sekat jenis kelamin, oleh atas-batas jabatan, oleh latar belakang pendidikan, dan oleh latar-latar etnis atau suku tertentu. Jurnalistik atau pers bergerak dengan bebas nan leluasa dan amat melebar, bahkan menembus dan merasuk masuk ke dalam sekat-sekat dan tembok-tembok tebal nan masif, seperti yang disebutkan di depan itu.
Yang mengendalai pers itu sesungguhnya hanyalah satu, yakni bahwa di dalam batas-batas tertentu, kaidah-kaidah umum kebahasaan yang sedang berlaku, harus sepenuhnya diindahkan olehnya, harus sepenuhnya diperhatikan oleh media massa itu. Jadi, bahasa jurnalistik Indonesia tidak bisa lepas dan kaidah-kaidah umum bahasa Indonesia yang berlaku pada saat sekarang.
Sosok bahasa di dalam ragam jurnalistik itu, atau bahasa di dalam bahasa pers itu, mau tidak mau haruslah memiliki sifat—sifat yang khusus atau ciri-ciri yang khas seperti harus singkat, harus padat, harus sederhana, harus lugas, harus tegas, harus jelas, dan harus menarik,sebagaimana yang ditegaskan H. Rosihan Anwar (2004), seorang jurnalis yang amat senior dan kawakan, bahwa ragam bahasa jumalistik itu haruslah didasarkan pada kaidah-kaidah bahasa baku yang kini berlaku. Jadi, bahasa di dalam ragam jumalistik sama sekali tidak boleh mengabaikan ketentuan-ketentuan tata bahasa baku dan kaidah-kaidah ejaan serta aturan tata tulis yang berlaku.
Demikian pun dengan ihwal kosa-kata atau perbendàharaan katanya, bahasa ragam jurnalistik atau bahasa pers itu haruslah senantiasa mengikuti perkembangan kosa-kata yang terjadi dalam masyarakat.
Jadi, tidak sepantasnya bahasa dalam ragam jurnalistik atau bahasa pers itu bersifat terlalu berdasar pada kamus semata, terlalu leksikosentris, pilihan kata-katanya tidak pernah membumi melainkan melangit, tidak banyak dikenal oleh publik pembacanya, terlampau terpancang pada kearkhaisan atau kekunoan dari kata-kata, dll.
Kata-kata dalam bahasa daerah tertentu dan kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang terkesan masih relatif asing. relatif belum biasa digunakan, tidak sering ditemukan dalam pemakaian bahasa keseharian, selayaknya digunakan dengan penuh pertimbangan dan dengan penuh kehati-hatian dalam pekerjaan jurnalistik.
Jangan sampai kehadiran kata-kata yang baru, istilah-istilah yang kadangkala terkesan terlalu dipaksakan oleh sejumlah jurnalis, gejala-gejala verbalistis yang cenderung dicuatkan oleh sejumlah jurnalis, yang justru akan menyulitkan pembaca media massa yang bersangkutan, yang notabene, berasal dari aneka latar lakang, akan menjadi amat kesulitan dalam memahami.

Ragam bahasa jurntalistik cenderung lebih berpihak pada manifestasi bahasa yang benar-benar dipakai dalam masyarakat. Jadi tidak berada pada kata-kata yang melulu di ciptakan oleh para ahli bahasa atau para linguis semata.
Demikian juga bila Anda suatu saat menemukan kata-kata atau istilah-istilah yang asing, bersikaplah dengan secara amat bijaksana dan dengan sangat seksama. Kata-kata atau istilah asing itu dapat saja digunakan dalam bahasa ragam jurnalistik, tentu dengan cetak miring atau dengan cetak kursif di dalam penulisannya, jika memang tidak ada kata atau istilah yang lain dalam bahasa Indonesianya.
Akan tetapi, jika di dalam bahasa Indonesia terdapat kata atau istilah tertentu sebagai padanan dari bentuk-bentuk asing tersebut, gunakanlah pertama-tama bentuk bahasa Indonesianya, lalu diikuti dengan bentuk asingnya yang ditulis di dalam tanda kurung. Jadi jangan malahan justru terbalik, istilah atau kata asingnya dulu yang disebutkan pertama, baru kemudian istilah di dalam bahasa Indonesianya. Hal ini bertautan dengan perkara nasionalisme bahasa.
Hati-hati dengan gejala verbalistis yang cenderung telah merasuki sebagian warga masyarakat kita, bisa jadi juga kepada para jurnalis, karena fakta kebahasaan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa terhadap pemekaran dan pengembangan bahasa kita sendiri
Bahasa jurnalistik Indonesia juga hendaknya banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai rasa atau yang bersifat ikonis. Dengan memakai bentuk-bentu beenilai rasa yang demikian itu, bahasá ragam jumalistik yang Sedang digunakan oleh jurnalis itu tidak akan terlampau kaku dan terkesan gersang. Sebaliknya, akan menjadi semakin tegas dan kuat nuansanya.
Misalnya saja, alih-alih menggunakan kata ditembak petugas gunakan saja istilah ikonis didor petugas. Untuk menekankan nilai rasa yang lebih, misalnya saja, orang akan menggunakan bentuk menjebloskan Anu ke dalam penjara dari pada bentuk memasukkan Anu ke dalam penjara.
Demikanlah, hendaknya para jurnalis di Indonesia itu harus banyak menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang memiliki nilai rasa, bentuk-bentuk kebahasaan yang bernilai ikonis dan berciri afektif. Bahasa jurnalistik untuk media massa cetak hendaknya juga harus dibedakan dengan bahasa pers atau bahasa jumalistik untuk media massa elektronik. Pasalnya, untuk yang pertama itu ragam bahasanya berciri tulis, sedangkan untuk yang kedua ciri bahasanya berkarakter tutur.
Bahasa tulis itu memiliki jati diri atau identitas makna dan representasi bentuk yang tidak sama dengan sosok bahasa tutur. Aspek-aspek para linguistik, gerak-gerak kinesik, olah mimik dan intonasi suara, demikian juga jarak bertutur atau proksimik, menjadi sangat dominan di dalam pemakaian bahasa tutur.
Adapun tata ejaan, tata tulis, keapikan paragraf, kebakuan dan keefektifan kalimat, diksi atau pilihan kata yang sungguh tepat dan penyusunan kalimat-kalimat yang berharkat dan bermartabat, sangatlah penting di dalam sosok bahasa ragam tulis. Jadi, jangan pernah kedua ragam bahasa itu dicampur adukkan, jangan sampai keduanya saling dirancukan pemakaiannya.
Ketika Anda menulis di dalam media massa cetak, jauhkanlah nuansa-nuansa dan karakter-karakter bahasa tutur yang ada di dalamnya yang sering menggoda diri Anda sebagai jurnalis untuk selalu menggunakannya. Sebaliknya, ketika Anda berbahasa jurnalistik elektronik, jauhkanlah kelaziman-kelaziman dan keharusan-keharusan yang ada di dalam bahasa ragam tulis.
Kelemahan umum dari kebanyakan media cetak yang kita temui di sekitar kita selama ini adalah, bahwa para jurnalis atau insan-insan pers itu banyak yang tidak dapat membedakan dengan secara baik, dengan secara teliti dan bijaksana, apa itu sosok ragam bahasa tutur dan apa itu sesungguhnya sosok ragam bahasa tulis.
Kelemahan inilah yang menjadikan bobot dari bahasa jurnalistik atau bahasa pers pada sebagian media massa cetak di dalam negeri ini terkesan cukup parah dan memprihatinkan. 
Kedua jenis ragam bahasa yang sesungguhnya amat berbeda ciri dan sifatnya, amat berbeda identitas dan karakternya, dicampuradukkan begitu saja. Maka kalau dicermati, banyak media massa cetak yang masih memperihatinkan bahasa secara kacau dan sangat berantakan didalam produksi kesehariannya.
Salah satu tugas utama media massa cetak, dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa Indonesia, adalah ikut serta di dalam meluaskan dan menyebarkan bahasa Indonesia yang berjati diri sebagai bahasa nasional, bahasa negara, kepada masyarakat banyak.
Jadi, fungsi inilah yang harus bersama-sama diperjuangkan, terlebih-lebih oleh insan-insan pers, oleh para jurnalis profesional, yang berjati diri sebagai penjaga gawang atau gate-keepers dan tepat, cermat, dalam pemakaian bahasa kita.

2.3.    Prinsip Penyusunan Kalimat jurnalistik

Terdapat 10 prinsip dasar bagi para jurnalis atau insan pers, juga untuk para calon jurnalis, untuk menyusun kalimat-kalimat jurnalistik di dalam setiap karya mereka di media massa, yaitu :
1)         Berciri padat, singkat, tajam, dan lugas.
Dari sisi kebahasaan, tulisan yang demikian panjang ini cenderung akan menghadirkan banyak kesalahan dan aneka kerancuan dalam praktik berbahasa. Jadi, biasakanlah untuk menjadi ekonomis dalam berbahasa jurnalistik. Jangan suka berpanjang-panjang. Bukankah word-economy atau ekonomi kata, merupakan salah satu prinsip dalani pemakaian bahasa jurnalistik yang berlaku universal.
Kata-kata mubazir seperti bahwa, oleh, untuk. yang kehadiran dan ketidak hadirannya kadangkala tidak mengubah arti atau makna, seharusnya juga dihindari oleh jurnalis yang hendak menjadikan dirinya profesional.
Selain bentuk-bentuk mubazir, para jurnalis juga harus kritis terhadap kata-kata yang sifatnya kontaminatif, yang sifatnya rancu, dan redundant bentuk disebabkan karena jelas merupakan bentuk yang keliru.
Hendaknya ide-ide yang panjang berbelit itu dipisahkan dan diwujudkan di dalam kalimat-kalimat yang pendek, kalimat-kalimat yang singkat, kalimat-kalimat yang sederhana, sehingga menjadi jelas, tegas, tajam, dan tidak rancu.
2) Berciri sederhana dan tidak berbelit
Jurnalis yang menjunjung tinggi profesionalitas itu haruslah selalu menyusun kalimat-kalimat dan bahasanya sedemikian rupa sehingga mudah diserap, gampang dipahami, bentuknya sederhana, dan sama sekali tidak bérbelit-belit wujudnya.
Terlebih-lebih kalau hal tersebut diimbangi dengan latihan dan pembiasaan yang cukup tekun, cukup rutin, maka ihwal membuat tulisaf-tulisan jurnalistik yang sederhana, tulisan yang tidak berbelit-belit, mustahil akan menjadi pekerjaan yang menyulitkan bagi mereka.
Maka, kata kuncinya lalu adalah berlatih dan terus berlatih untuk menulis.Menulis sama sekali bukanlah proses yang pendek, sederhana, dan instan. Untuk menjadi penulis yang baik, orang harus tekun untuk berlatih membuat tulisan.
Kalimat jurnalistik yang sederhana itu tidak boleh terdiri dari klausa-klausa dan frasa-frasa yang terlampau rumit.
Ihwal kalimat sederhana dan penghindaran terhadap kerumitan dan keberbelitan, pastilah bertautan dengan ihwal keberanian Anda untuk membuang jauh-jauh bentuk-bentuk mubazir dalam aktivitas berbahasa, menyederhanakan bentuk-bentuk yang rancu dalam aktivitas berbahasa, menyingkirkan bentuk-bentuk kontaminatif dalam aktivitas berbahasa, dll.


3)   Membatasi kalimat luas
Jika tidak mungkin diungkapkan dengan kalimat sederhana, baru Anda dipersilakan menggunakan kalimat-kalimat luas, baik yang setara (complex sentence) maupun kalimat yang tidak setara (complex sentence).
Jika sangat terpaksa, bahkan Anda dapat juga menggunakan kalimat luas campuran (compound complex sentence). Akan tetapi, sekali lagi, preferensi Anda sebagai Jurnalis haruslah pada kalimat-kalimat yang sederhana, kalimat yang lugas, dan kalimat yang tidak ganda makna.
Tidak jarang para jurnalis yang sudah lama berkiprah dengan dunia tulis-menulis, akan mengalami banyak kesulitan dan menghadapi banyak sekali ketidaktepatan ketika mereka berurusan dengan sosok kalimat luas.
Dengan mempertimbangkan semua itu, memperhitungkan semua fakta kebahasaan yang demikian itu, maka sedapat mungkin, Anda sebagai jurnalis yang profesional, harus membatasi diri terhadap kalimat-kalimat yang luas dan tidak Sederhana demikian itu.
4)   Menggunakan bentuk yang tidak verbalistis
Sejumlah orang mungkin beranggapan, bahwa dengan bahasa yang cenderung berciri verbalistis itu, mereka akan mendapatkan penghargaan dan atau penghormatan yang cenderung berlebih.
Akan tetapi yang terjadi justru adalah yang sebaliknya, ketika berkata-kata dan berbicara dengan bahasa yang sangat tidak sederhana, orang telah membangun inkredibilitas dirinya di depan khalayak publiknya.
Maka hindarkanlah keklisean atau keprototipean, hindarkanlah bentuk-bentuk berulang yang hanya itu-itu saja, hindarkanlah keverbalistisan, dan hindarkanlah kemuluk-mulukan, ketika Anda menyajikan tulisan di media massa.


5) Memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek
Bentuk-bentuk kebahasaan yang singkat, konstruksi-konstruksi yang pendek dan yang sederhana, dapat juga digunakan untuk menyatakan gagasan dan/atau ide yang tidak selalu sederhana.
Sebaliknya, tidaklah selalu bahwa bentuk-bentuk kebahasaan yang panjang, bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak sederhana, yang cenderung berciri rumit, pasti akan dapat dipakai untuk menyatakan maksud atau makna yang kompleks dan berciri tidak sederhana.
Kenyataan kebahasaan demikian ini sesugguhnya menegaskan, bahwa sosok bahasa itu memang pada hakikatnya sangatlah tajam, sangatlah runcing, bahkan dia bisa menghunjam dalam-dalam dan tajamnya melebihi sebilah sembilu bambu warna biru.
Jelas sekali, preferensi mereka itu memang berada pada dimensi-dimensi kesingkatan, kepadatan, kelugasan, dan kesederhanaan.
6)   Mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif
Bahasa jurnalistik tidak mengharamkan bentuk-bentuk kalimat negatif dan bentuk-bentuk kalimat pasif. Keduanya merupakan bentuk linguistik yang sah, keduanya merupakan bentuk kebahasaan yang benar.
Oleh karenanya bentuk-béntuk yang ada dalam linguistik, hendaknya digunakan secara vanatif dan seimbang dalam bahasa jurnalistik
Dan sisi maknanya, memang secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk positif dan bentuk-bentuk aktif itu memberikan implikasi makna yang tegas dan lebih lugas.
Maka dalam hemat penulis, dan hendaknya hal demikian ini diperhatikan sekali oleh para jurnalis, bahwa bentuk-bentuk kebahasaan demikian itu haruslah digunakan dengan secara seimbang. Tidak ada bentuk kebahasaan yang harus diharamkan. Tidak ada konstruksi kebahasaan yang harus dikarantinakan.
7) Berciri jelas, tegas, dan tidak kabur makna.
Tidak banyak orang yang mampu berbahasa atau menyampaikan gagasan dan idenya lewat peranti bahasa dengan secara jelas, tegas, dan bebas dari aneka kekaburan makna.
Kekaburan makna yang demikian itu bisa terjadi karena berbagai macam hal, misalnya saja karena pilihan kata atau diksinya, karena berlebihan penggunaan kata-katanya, karena salah dalam menempatkan bagian-bagian kalimatnya. Hendaknya semua kelemahan dan kesalahan dalam berbahasa yang demikian ini disikapi secara amat serius oleh para jurnalis Indonesia.
Para jurnalis juga mesti memerhatikan kaidah-kaidah kebahasaan yang selama ini ada dan berlaku. Bahasa ragam jurnalistik juga harus mengindahkan tata tulis dan tata ejaan yang sedang berlaku. Kalau dengan kelaziman-kelaziman jurnalistik yang selama ini ada, kekaburan dan ketidak jelasan penggunaan bahasa itu tidak dapat dijamin ketidak adaannya, kenapa para jurnalis harus terus bersikutat pada pemahaman sosok bahasa jurnalistik yang selama ini dimilikinya.
Kekaburan, ketidaklugasan, kemubaziran, kemaknagandaan, harus senantiasa dihilangkan dan kancah bahasa dan kalimat jurnalistik Indonesia.
8)   Membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis.
Dalam sosok media cetak, ragam bahasa jurnalisliknya selalu harus berciri tulis, sedangkan di dalam media elektronik dan media visual-elektronik, ragam bahasa jurnalistiknya selalu bersifat tutur.
Bahasa dalam ciri tulis sangatlah berbeda identitas dan jati dirinya dengan bahasa dalam ragam tutur. Anda, para jurnalis profesional, tidak boleh mencampur-adukkan keduanya secara serampangan.
Romli (2004) menyebutkan bahwa di antaranya, bahasa ragam tutur itu memiliki ciri-ciri yang berikut ini: kalimatnya pendek-pendek,
menggunakan kata-kata yang biasa diucapkan (spoken language, convemational language, everyday language), satu ide satu kalimat (menghindari kalimat majemuk atau kalimat luas),
Berkaitan dengan ciri yang pertama, yakni bahwa kalimat-kalimat dalam ragam bahasa tutur harus pendek, kiranya perlu diperhatikan juga di dalam bahasa jurnalistik tulis untuk media massa cetak. Pasalnya, kalimat-kalimat yang pendek, yang hanya berisi satu ide, akan memudahkan pembaca media massa cetak yang bersangkutan untuk memahami.
Berkenaan dengan ciri kedua, yakni bahwa bahasa tutur harus menggunakan kata-kata yang biasa (every days peech spoken words), tidak sepenuhnya perlu diikuti di dalam bahasa jurnalistik ragam tulis untuk media cetak.
Berkaitan dengan ciri ketiga, yakni bahwa satu kalimat di dalam bahasa tutur harus disampaikan dalam satu nafas, kiranya juga tidak perlu diikuti secara salah kaprah dalam media massa cetak. Karena bahasa media cetak tidak bertautan dengan persoalan nafas, cara penyampaiannya cenderung sedikit lebih luwes dan lebih fleksibel.
Berkenaan dengan ciri yang terakhir atau ciri yang keempat, yakni harus menggunakan kalimat yang tidak langsung, media massa cetak cenderung berciri lebih longgar dan lebih leluasa.
Jadi jelas, bahwa bahasa ragam jurnalistik tulis itu seungguhnya cenderung untuk jauh lebih luwes dan fleksibel jika dibandingkan dengan bahasa ragam jurnalistik tutur.
Baik bahasa ragam jurnalistik tulis maupun bahasa ragam jurnalistik lisan atau tutur, harus senantiasa memerhatikan kelima ciri bahasa jurnalistik atau bahasa pers seperti disebutkan di depan. Tanpa memerhatikan dan mencermati itu semua, maka bahasa yang digunakan di dalam media massa, entah cetak entah elektronik, akan dapat kehilangan ruh-ruh mendasarnya.
9)   Memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek dengan tetap berdasar pada kaidah-kaidah linguistic
Bahasa jurnalistik memang harus tegas terhadap kemubaziran, dia juga harus berani memangkas keruwetan pengungkapan. Jadi di dalam bahasa ragam jurnalisiik, hanya bentuk-bentuk kebahasaan yang sifatnya mubazir sajalah yang harus dibuang. yang harus dikurangi, yang harus ditanggalkan.
Perlu sekali disadari bahwa bahasa media massa itu juga dimaksudkan untuk mendidik masyarakat umum di dalam praktik berbahasa. Sehingga bahasa media massa cetak itu tidak serta merta bebas dan merdeka, lepas dari kaidah-kaidah kebahasaan atau aturan linguistik yang ada.
Penyimpangan tertentu memang bisa dimungkinkan, sejauh rambu-rambu untuk menyimpang dan kaidah-kaidah yang berlaku tersebut memang disinyalkan. Maka bilamana tidak marilah kaidah-kaidah linguisik dan kaidah-kaidah jurnalistik itu bersama-sama kita seimbangkan, sehingga nantinya akan terlahir ragam bahasa jurnalistik Indonesia yang benar-benar luwes, yang tidak terlalu kaku, dan yang serasa pas dicerna oleh semua kalangan.
10) Membatasi bentuk-bentuk kebahasaan yang terkena interferensi bahasa asing.
Preferensi pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan, sesungguhnya mengindikasikan apakah sosok penulis itu tengolong orang nasionalis, ataukah bukan nasionalis. Artinya, pemakaian bahasa itu dekat dengan persoalan nasionalisme.
Demikian pula bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan oleh seseorang, akan sekaligus menunjukkan apakah dirinya tergolong seorang yang verbalistis, suka menggutakan bentuk-bentuk asing dengan tidak mengerti secara pasti dan secara persis makna atau artinya, ataukah justru yang sebaliknya.
Jika bahasa ragam jurnalistik kita telah didominasi oleh tumpukan-tumpukan interferensi, biasanya dan bahasa yang lebih kuat (power full), niscaya banyak orang akan mempertanyakan nasionalisme kebahasaan kita di dalam praktik berbahasa jurnalistik.
Dalam bahasa Inggris, kehadiran sebuah preposisi atau kata depan seperti in, on, at,di depan nomina atau kata benda adalah sebuah keharusan.
Akan tetapi, di dalam bahasa Indonesia, kenyataan kebahasaan itu tidaklah demikian. Jadi, salah jika dipaksakan digunakan bentuk yang demikian itu di dalam praktik bahasa jurnalistik Indonesia. itu keliru dan dalam hemat saya harus dihentikan.

Terdapat empat prinsip retorika tekstual   yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas. 
  1. Prinsip prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
2.      Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu mudah dipahami.
Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan.
Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat
dipahami.
3.      Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan. Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini.


Untuk mengkonstruksi teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii) pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik.
4.      Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.












BAB III
PENUTUP
3.1.    Kesimpulan
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa.
Kata ‘jurnalistik’, yang dalam bahasa Inggris disebut journalistick, secara harfiah lazim diartikan sebagai sesuatu yang bersifat kewartawanan atau berkarakter kejurnalistikan, sesuatu yang bertali-temali dengan ihwal wartawan atau jurnalis, sesuatu yang bertautan dengan perihal kejurnalismean atau kewartawanan.
ciri bahasa dalam ragam jurnalistik diantaranya komunikatif, spesifik, hemat kata, jelas makna, tidak mubazir dan tidak klise.
Bahasa jurnalistik Indonesia hendaknya banyak mengunakan kata-kata atau istilah-istilah yang banyak memiliki nilai rasa atau yang bersifat ikonis.
Prinsip penyusunan kalimat jurnalistik memiliki ciri yaitu padat, singkat, tajam, dan lugas, sederhana dan tidak berbelit, membatasi kalimat luas, menggunakan bentuk yang tidak verbalistis, memiliki preferensi pada bentuk-bentuk pendek, mengutamakan bentuk positif dan bentuk aktif jelas, tegas, dan tidak kabur makna, membedakan secara jelas bahasa tutur dan bahasa tulis, dan memiliki preferensi pada bentuk yang sederhana, pendek dengan tetap berdasar pada kaidah-kaidah linguistic.
empat prinsip retorika tekstual   yang dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.



3.2.    Saran
Setelah membaca makalah ini, pembaca terutama para jurnalis atau calon jurnalis dapat mengetahui sosok bahasa di dalam jurnalistik, kaidah – kaidah di dalam bahasa jurnalistik, serta prinsip – prinsip penyusunan jurnalistik. Dengan mengetahui wawasan tentang kebahasaan dalam jurnalistik maka akan meminimalkan kesalahan di dalam penerapannya.
















DAFTAR PUSTAKA


Rahardi, M. Hum, Dr. R. Kunjana. 2003. Asik Berbahasa Jurnalistik. Malang : Dioma
Suroso (2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan. Yogyakarta: LSIP.
http://blog.binadarma.ac.id/yudi/?p=10




No comments:

Post a Comment