Kalau aku merantau
lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering,
daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu ibu,
yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu
dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan
memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu
tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau
sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke
bumi
aku mengangguk meskipun kurang
mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada
diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut
semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya
tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling
dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin
sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang
bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan
sajakku.
(Sumber: Antologi Puisi Bantalku Ombak Selimutku Angin
(1996).
No comments:
Post a Comment