Ia dikenal sebagai Sang Jenius dari Papua. Ia lahir di Manokwari
pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindah-pindah
mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orang tua.
Dia adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada
tahun 2004 dari Indonesia. Makalahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal
Lattice Networks of Identical Resisto. Rumus penghitung hambatan antara Dua
Titik Rangkaian Resistor yang ditemukannya diberi namanya sendiri yaitu “George Saa Formula”.
Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini sangat
mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to Nobel
Prize in Physic yang mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke
meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara itu
hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal
Jayapura ini menggondol emas.
Oge (nama panggilan george) lahir dari keluarga
sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan,
Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang pegawai. Sebab,
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu isterinya, Nelce
Wofam, dan kelima anak mereka, mengolah ladang dan menanam umbi-umbian. Kelima
anak Silas mewarisi keenceran otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan
Menengah Atas tahun 1969, sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang
Papua kala itu.
Apulena Saa, puteri sulung Silas, mengikuti
jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana Kehutanan lulusan Universitas Cendrawasih.
Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini tengah menempuh Program Magister
Manajemen pada Universitas Cendrawasih. Yopi Saa, putera ketiga, adalah
mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Agustinus Saa,
putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua,
Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional.
“Semua anak Mama tidak manja dengan uang, sebab kami tidak punya uang,” tutur
Mama Nelc.
Ia bertutur, karena minimnya ekonomi
keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah
ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik “taksi” (angkutan umum) dengan ongkos
Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi. “Tidak bisa jajan.
Untuk naik “taksi” saja Mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau makan harus
pulang ke rumah,” katanya.
Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti karena uang.
Pemuda yang dikenal sebagai playmaker
di lapangan basket ini adalah orang yang
haus belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang haus seperti Oge.
Prestasinya di bidang fisika yang menurut sebagian anak muda ini mengapa bukan
semata-mata karena ia menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.
“Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak ada
alasan khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar
saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya,” katanya. “Semua
mata pelajaran di sekolah, saya suka kecuali PPKn (Pendidikan Pancasilan dan
Kewarganegaraan). Pelajaran itu membosankan dan terlalu banyak mencatat. Saya
suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa Indonesia. Saya
selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,” tambahnya.
Selepas SD dan SMP yang kerap diwarnai bolos
sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan
milik pemerintah daerah yang menjamin semua kebutuhan siswa, mulai dari
seragam, uang saku, hingga asrama. Kehausan intelektualnya seperti menemukan
oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia mendapat macam-macam teori,
temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika dunia.
Kebrilianan otak
mutiara hitam dari Timur Indonesia ini mulai bersinar ketika pada tahun 2001 ia
menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah. Oleh karena prestasinya itu, ia
mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah Provinsi Papua. Namun, mamanya
melarang putera bungsunya berangkat ke Ibu kota.
Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan
kenekatan. Dengan dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru
memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat.
Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah
Papua.
Oge
kemudian membuktikan bahwa kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis
sedih mamanya berganti menjadi tangis haru ketika November 2003 ia menduduki
peringkat delapan dari 60 perserta lomba Matematika Kuantum di India.
Prestasinya memuncak tahun ini dengan menggenggam emas hasil riset fisikanya.
Mamanya pun tidak pernah menangis lagi. “Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya
ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat
hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya
dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman,” kata dia.
Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh Bapak Fisika
Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus mempresentasikan
hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus membuktikan bahwa
risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah gagasan
orisinilnya. Setelah itu, ia akan mendapat kesempatan belajar riset di Polish
Academy of Science di Polandia selama sebulan di bawah bimbingan fisikawan
jempolan.
Setelah menerima penghargaan itu, George
mendapat banyak fasilitas. Menteri Pendidikan saat itu, Malik Fadjar, meminta
George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa tes. Kampus tempat
dia kuliah juga diwajibkan memberikan fasilitas belajar. George sempat bingung
memilih kampus sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal
Mallarangeng, mendatangi dirinya. ‘’Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,’’
ungkap pria kelahiran 22 September 1986 tersebut.
Freedom Institute menawari George kuliah di
luar negeri. Ia boleh memilih negara mana pun. Mau di benua Amerika, Eropa,
bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut bukan hanya uang
kuliah, tetapi juga uang saku dan biaya hidup. Pria penghobi basket itu sempat
bingung memilih negara.
Rizal Mallarangeng mengusulkan agar dirinya memilih
Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus untuk belajar dan
melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan Aerospace Engineering
di Florida Institute of Technology. Kampus di pesisir timur Amerika di Brevard
County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat peluncuran
pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration).
Di jurusan aerospace
engineering alias
teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang,
baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa. Dia juga mempelajari ilmu
yang supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science.
‘’Saking sulitnya, orang Amerika sering bilang, you don’t need rocket
science to figure it out,’’ katanya lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa
seangkatan, hanya 40 orang yang lulus. George mempelajari semua hal tentang
pesawat terbang. Mulai struktur pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga
efisiensi berat dalam teknologi pembuatan burung besi itu.
Ada alasan
khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi Presiden ketiga
Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal
tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25,
dia harus mengalihkan impiannya.
‘’Kalau
nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat. Setidaknya,
memahami teknologi pesawat terbang,’’ tegasnya.
Tahun pertama di
Amerika sangat sulit bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris.
Pernah, dia tertahan sejam di bagian imigrasi. ‘’Saya hanya duduk dan diam
selama sejam gara-gara tidak bisa bahasa Inggris,’’ tuturnya.
Oleh karena itu, tahun pertama, George tak
langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language Service di Cleveland,
negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar bahasa. Mulai pukul
08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa Inggris. ‘’Saya
mempelajari lagi grammar dan kosakata,’’ jelas anak bungsu pasangan Silas Saa
dan Nelly Wafom itu. George lulus pada akhir 2009.
Kini, dia bekerja di
perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di
lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute. ‘’Tiga minggu ini aku di
Jakarta. Nanti ke laut lagi,’’ katanya.
Sumber:
buku siswa / Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.-- Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. xiv, hlm
284. : ilus. ; 25 cm. Untuk SMA Kelas XISBN (jilid lengkap)ISBN (jilid 3)1
Bahasa Indonesia – Studi dan Pengajaran.
No comments:
Post a Comment