Thursday, 7 February 2019

Pengalaman Melahirkan Secara Normal

Kejadian itu dimulai pada jumat malam tanggal 19 sekitar pukul 22.00 wib. Saat itu, saya sedang menonton televisi di salah satu stasiun tv swasta (Ind_s_ar) yang kala itu menayangkan pemilihan putri Indonesia. saya memang sangat menyukai acara itu. namun, tiba-tiba rasa tak nyamanpun muncul. duduk berbagai posisi terasa serba salah. Saya mencoba tenang dan belum tau kalau hendak mengalami kontraksi. Namun sampai pada babak penyisihan menjadi tiga besar putri Indonesia, akhirnya saya menyerah. Saya matikan televisinya dan menuju ke kamar tidur. Waktu itu mungkin sudah hampir jam 00.00 wib. Suamiku sedang mengobrol di ruang tamu dengan temannya.
seperti biasa, sebelum tidur saya biasanya ke toilet berlebih dahulu untuk cuci muka dan buang air kecil. Tapi apa yang terjadi? ada flek darah! Waw, aku jadi deg-degan. pikiranku melayang. apakah aku hendak melahirkan!
Dari buku yang aku baca, biasanya orang yang akan melahirkan ditandai dengan flek terlebih dahulu.
aku kembali masuk kamar sambil menyiapkan mental. Kemudian, aku mengambil beberapa baju daster berkancing depan (gunanya agar mudah saat hendak menyusui) dan perlengkapan pakaian bayi seperti baju, gurita, popok, sarung tangan dan sarung kaki bayi, bedongan, topi dan juga diaper. semua aku masukkan ke dalam tas kecil. tiba-tiba suamiku masuk kamar. Dia menanyaiku apakah sudah terasa mules hendak melahirkan. aku hanya menjawab untuk jaga-jaga saja sewaktu hendak melahirkan tinggal angkat tasnya saja.
Sudah masuk dini hari, aku merasakan ada yang sakit di perutku seperti mulas ringan yang timbul tenggelam. aku mulai gelisah. Rasanya juga seperti hendak ingin buang air besar. Aku ke toilet lagi hendak bab kalau memang hanya mulas biasanya. Nyatanya mulas itu datang dan hilang sendiri dan barulah aku menyadari mungkin itulah yang dinamakan kontraksi. Flek semakin menjadi dan aku menggunakan panty liner.
Kontraksi mulai terasa jelas. aku tidak bisa tidur. Kegelisahanku membuat suamiku bingung. Baru saat itu aku katakan sejujurnya padanya kalau aku sudah flek dan merasakan kontraksi yang masih ringan. Suamiku jadi tidak bisa tidur karena aku minta untuk mengelus-elus lembut punggungku untuk mengurangi rasa sakit hingga hampir subuh.
aku tak bisa tidur hingga pagi menjelang (hari sabtu tanggal 20) sementara suamiku tertidur sehabis solat subuh karena mengantuk berat. Sedangkan aku langsung olahraga jalan-jalan sehat di depan rumah. Masih jalan lima menit, rasa kontraksi timbul beberapa detik. aduh sakitnya, aku menghela nafas sambil terus membaca shalawat nabi dan kalimat tasbih. begitu sampai seterusnya.
Setelah beberapa meter jalan kaki dari rumah tepatnya di pertigaan jalan, aku melihat sosok dari kejauhan sedang berdiri di tengah jalan. seperti laki-laki atau entah perempuan aku tidak paham. Nampak atau tidak aku juga tidak tahu. Sepertinya memakai daster panjang memandang tajam ke arahku. Sosok itu berdiri di depan pabrik padi yang depannya banyak ditumbuhi pohon bambu. Aku jadi sangat ketakutan karena memang hari belum sepenuhnya terang. Aku sedikit mempercepat langkah kembali ke rumah samb mengingat cerita orang jaman dahulu (katanya: kalau sudah mau melahirkan itu diikuti mbak kuntixxxx). Ah itu hanya ketakutanku saja. aku coba melupakan itu dan terus bershalawat dan membaca tasbih sambil menahan kontraksi yang makin kuat.
Sampai di dalam rumah, ternyata suami sudah terbangun dan menceritakan pada ibunya (ibu mertuaku) karena notabene saat itu memang aku masih tinggal di rumah mertua. Aku kembali ke toilet dan ternyata ada gumpalan darah hampir sebesar tahu. hem, kata orang jawa sih bilangnya ‘angkat kidang’ jadi lebih sakit dari yang biasanya. aku tapi tidak bisa membedakannya. yang ku tahu ya intinya sakit.
Sabtu pagi yang cerah itu, aku mandi dan bersiap untuk memeriksakan kehamilanku. aku masih bisa berjalan dan beraktifitas lainnya karena memang masih kontraksi ringan. Masih bisa menerima telepon juga dari temanku untuk sekadar menanyakan kabar padahal aku sedang menahan kontraksi. Pagi itu mertuaku menawariku sarapan tapi aku menolaknya karena sudah tak selera makan. Segeralah aku berangkat diantar suamiku ke klinik milik bidan yang biasa aku memeriksakan kehamilanku dengan membawa tas berisi baju ganti yang telah kupersiapkan semalam. Sampai di sana, aku disambut ramah. bu bidan belum berangkat dinas ke puskesmas karena memang masih pagi. Aku dibawa keruang tindakan untuk diperiksa bukaannya. Ternyata masih bukaan dua. aku diminta untuk pulang kembali. Estimasi bu bidan kira-kira nanti malam kahirannya karena kehamilan pertama biasanya durasi kontraksi jauh lebih lama dibandingkan kehamilan kedua dan seterusnya. Aku disarankan untuk sering berjalan kalau masih mampu kalau tidak ya istirahat saja dengan berbaring miring ke kiri untuk mempercepat bukaan tapi kalau sudah tidak mampu menahannya boleh segera di bawa ke klinik.
Sepulang dari klinik, aku langsung sarapan dan mengabari ibuku tentang hal yang kualami. Tentu saja, beliau memberiku saran dan dukungan serta doa. Hari itu aku masih mampu menahan kontraksi hingga malam menjelang. Suamiku menanyaiku apakah aku masih bisa menahan atau tidak. Aku jawab masih bisa. namun untuk malam kedua ini aku tak bisa tidur lagi ditemani suamiku. Malam itu suamiku terjaga juga karena kuminta untuk selalu mengelus punggungku setiap kontraksi datang. Makin larut malam makin terasa sakit sekali. aku sampai ari tempat tidur untum merubah posisi. Tidur miring ke kiri, jongkok berdiri, setengah jongkok, sujud, rukuk dan segala posisi menahan sakit yang makin luar biasa menyerang. Aku berharap hari segeralah cepat pagi.
Kini sudah minggu pagi. Aku langsung mandi air hangat dan bersiap untuk berangkat ke klinik. Sungguh tak kusangka, bu bidan malah mendatangi rumahku. Ternyata, dia baru saja memeriksa kondisi bayi yang baru lahir dua hari yang lalu dan rumahnya tak jauh dari rumahku tinggal. Bu bidan menanyaiku kenapa semalam tak datang padahal beliau sudah menungguku. Aku jawab bahwa aku masih kuat menahan kontraksinya. Kemudian, aku diperiksa bukaannya dan masih bukaan empat. Sungguh kemajuan yang lamban. Bu Bidan bilang nanti siang segera dibawa ke klinik dan mudah-mudahan bukaannya segera lengkap.
Aku menunggu sampai siang rasanya lama sekali. Sakit yang kurasa semakin menjadi-jadi.
Siang itu segera suami mengantarkanku kembali ke klinik dan ternyata sudah bukaan lima. Aku diminta untuk menunggu bukaan lengkap di ruang tindakan saja. Suamiku diminta bidan untuk membelikanku minuman semacam isotonik (P_c_ri Sw__t) dan roti untuk menambah tenaga saat mengejan nanti. Di situ, aku coba berjalan untuk mengalihkan rasa sakit namun akhirnya kuputuskan untuk tidur miring ke kiri saja. Pembukaan makin bertambah namun lamban. Magrib saja masih bukaan enam. Suamiku selalu di sampingku bersama ibu mertua. Suamiku kuminta terus mengelus punggungku. sakitnya sungguh luar biasa nikmat. Antara mulas sakit perut, seperti sakit ketika menstruasi bercampur mulas hendak buang air besar bertambah nyeri di pinggang. Rasa itu menyatu dan timbul dengan jarak yang makin dekat sekitar dua menit sekali. Aku selalu menyebut nama tuhanku kala kontraksi menyerang. dalam hati selalu bertasbih dan bersalawat nabi memohon kelamcaran.
Bu bidan kembali memeriksa, berharap habis magrib bukaan sudah lengkap. Namun myatanya belum lengkap juga dan hanya bertambah satu menjadi tujuh. Terus menunggu dan di luar ruangan sudah ramai sekali teman-teman suamiku datang memberi dukungan. bu bidan dengan sangat ramah menenangkanku. Dia menjelaskan bahwa semakin banyak bukaan maka kontraksi akan lebih sering lagi timbulnya. Sampai Isya tiba bukaan masih delapan dan ketuban belum lekas pecah. Belum ada tanda-tanda bayiku dalam perut hendak keluar padahal bu bidan memberikan perkiraan paling lama habis isya nanti.
Keadaan makin menghawatirkan. Rasa mulas makin parah dan rasa ingin mengejan makin kuat. Bubidan kemudian membelajariku cara mengejan yang baik. Sudah hampir jam sepuluhan malam ketuban tak pecah juga padahal pembukaan hampir lengkap. Aku hampir mau diinfus karena bubidan takut kondisi tubuhku akan kehabisan tenaga saat mengejan nanti tapi aku menolaknya karena aku sangat takut dengan jarum suntik. Selain itu, aku juga masih merasa kuat dan sehat. Aku sudah banyak makan roti dan minum po_ari sw__t sampai habis beberapa botol. bukan itu saja, aku juga diberikan minuman air putih dari seorang ahli spiritual agar kelahirannya lancar.
Kegelisahan mulai muncul. bu bidan membawa alat seperti gunting panjang dan sepertinya hendak memecahkan ketubanku. Namun dia tak mengatakan hal itu. dia hanya memintaku untuk sedikit menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tindakannya.
benar saja, ketubanku dipecahkan. Saat itu mungkin sudah jam sebelas malaman atau lebih. Bu bidanku yang ramah tiba-tiba memberikan pernyataan yang mengejutkan padaku dan suamiku. ”Nanti kalau sudah jam dua belas bayinya belum turun juga dan belum ada tanda-tanda melahirkan langsung dirujuk ke rumah sakit aja ya mas. Siapkan saja pakaian gantinya ditambah kemudian surat-surat dan kartu bpjsnya di bawa”. Suamiku mengiyakan saja. Bu bidan menjelaskan lagi mungkin aku butuh tindakan induksi yang tidak boleh dilakukan oleh bidan karena takut gagal. Pilihan terakhir adalah di cesar misalnya nanti induksinya gagal. Aku jadi sangat cemas berharap bayiku lekas lahir. namun apalah daya, Sang Kuasa berkehendak lain. Minggu telah berlalu berganti senin. jam dua belas malam keponakanku pulang mengambil surat yang telah kupersiapkan beserta baju ganti tambahan. Suami dari bu bidanjuga menyiapkan mobilnya untum mengantarkanku ke rumah sakit dengan jarak sekitar satu jam lamanya.
Pukul 00.30 wib aku dibawa berangkat ke rumah sakit. di dalam mobil aku merebahkan badan dipangkuan suamiku dengan lunglai dan terus menahan kontraksi akib menjadi-jadi sambil mengejan tiap kontraksi tiba.     Sepertinya suami bu bidan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. aku tak peduli, rasanya aku ingin segera sampai rumah sakit. Terlintas pikiran buruk di bayanganku bagaimana bila aku melahirkan ditengah jalan atau bagaimana kalau aku meninggal dalam perjuangan hendak melahirkan seorang anak. Astagfirullah. Aku buang pikiran buruk itu jauh-jauh.
Tak terasa satu jam berlalu sampailah aku di gerbang rumah sakit. pikiran buruk lain mengusikku. Rasanya sangat kecewa sekali andai aku berakhir pada meja operasi sesar. perjuanganku merasakan kontraksi sia-sia saja. Namun apalah daya aku hanya memasrahkan diri pada sang Ilahi karena Dialah yang memberiku rasa sakit dan Dia pulalah yang akan menyembuhkanku.
Aku sudah tak mampu berjalan lagi rasanya. Turun dari mobil, aku langsung disambut ranjang beroda. Suamiku menggotonku dengan tergopong-gopong untuk meletakkanku   pada ranjang tersebut dan segeralah petugas serta suamiku mendorongku ke dalam ruang persalinan.
Sungguh rasa yang luar biasa, aku tak mampu menahan hasrat dari tubuh untuk mengejan. Namun saat itu, bidan jaga masih sibuk mengurus administrasi dengan menanyaiku terus menerus juga suamiku tanpa memberikan tindakan pertolongan terlebih dahulu (sungguh miris sistem rumah sakit di Indonesia: bukannya segera menolong pasien, tapi justru mementingkan administrasi. Apakah nyawa tak lebih berharga dari uang?) Sudahlah kita lupakan saja.
Setelah selesai mengurus administrasi, barulah para bidan mendekatiku yang terkapar diranjang sambil terus menahan rasa sakit. Aku dipasangkan infus, kemudian di suntik juga bagian tangan kirinya. Sementara tangan sebelah kananku di ambil sampel darahnya. Tiga jenis suntikan yang sama sekali tak terasa sakit lagi (padahal aku phobia jarum suntik). Mungkin karena ada yang lebih sakit dari itu, dan yang kubayangkan hanya berharap bayiku dapat segera normal. Tabung infusku juga diberikan suntikan. Entah cairan apa yang dimasukkan karena bidan yang bertugas tidak menjelaskannya. yang pasti memang dengan tindakan induksi. Selang beberapa saat, waktunya aku untuk mengejan sekuat tenagaku dibantu tiga bidan jaga yang adadi rumah saki tersebut dan satu bidan yang dari klinik yang merujukku. Berarti empat bidan mengelilingiku membantu proses melahirkan. Aku mengejan beberapa kali lagi dan akhirnya tangisan bayi memecahkan suasana ketegangan pada pukul dua dini hari. [ajaib] Rasa sakit sirna sudah. Berganti bahagia.        
Itulah pengalaman pertamaku yang penuh dramatisasi, melahirkan secara normal dengan induksi.

No comments:

Post a Comment