Kejadian itu dimulai pada jumat malam tanggal 19 sekitar pukul 22.00
wib. Saat itu, saya sedang menonton televisi di salah satu stasiun tv
swasta (Ind_s_ar) yang kala itu menayangkan pemilihan putri Indonesia.
saya memang sangat menyukai acara itu. namun, tiba-tiba rasa tak
nyamanpun muncul. duduk berbagai posisi terasa serba salah. Saya mencoba
tenang dan belum tau kalau hendak mengalami kontraksi. Namun sampai
pada babak penyisihan menjadi tiga besar putri Indonesia, akhirnya saya
menyerah. Saya matikan televisinya dan menuju ke kamar tidur. Waktu itu
mungkin sudah hampir jam 00.00 wib. Suamiku sedang mengobrol di ruang
tamu dengan temannya.
seperti biasa, sebelum tidur saya biasanya ke toilet berlebih dahulu
untuk cuci muka dan buang air kecil. Tapi apa yang terjadi? ada flek
darah! Waw, aku jadi deg-degan. pikiranku melayang. apakah aku hendak
melahirkan!
Dari buku yang aku baca, biasanya orang yang akan melahirkan ditandai dengan flek terlebih dahulu.
aku kembali masuk kamar sambil menyiapkan mental. Kemudian, aku
mengambil beberapa baju daster berkancing depan (gunanya agar mudah saat
hendak menyusui) dan perlengkapan pakaian bayi seperti baju, gurita,
popok, sarung tangan dan sarung kaki bayi, bedongan, topi dan juga
diaper. semua aku masukkan ke dalam tas kecil. tiba-tiba suamiku masuk
kamar. Dia menanyaiku apakah sudah terasa mules hendak melahirkan. aku
hanya menjawab untuk jaga-jaga saja sewaktu hendak melahirkan tinggal
angkat tasnya saja.
Sudah masuk dini hari, aku merasakan ada yang sakit di perutku seperti
mulas ringan yang timbul tenggelam. aku mulai gelisah. Rasanya juga
seperti hendak ingin buang air besar. Aku ke toilet lagi hendak bab
kalau memang hanya mulas biasanya. Nyatanya mulas itu datang dan hilang
sendiri dan barulah aku menyadari mungkin itulah yang dinamakan
kontraksi. Flek semakin menjadi dan aku menggunakan panty liner.
Kontraksi mulai terasa jelas. aku tidak bisa tidur. Kegelisahanku
membuat suamiku bingung. Baru saat itu aku katakan sejujurnya padanya
kalau aku sudah flek dan merasakan kontraksi yang masih ringan. Suamiku
jadi tidak bisa tidur karena aku minta untuk mengelus-elus lembut
punggungku untuk mengurangi rasa sakit hingga hampir subuh.
aku tak bisa tidur hingga pagi menjelang (hari sabtu tanggal 20)
sementara suamiku tertidur sehabis solat subuh karena mengantuk berat.
Sedangkan aku langsung olahraga jalan-jalan sehat di depan rumah. Masih
jalan lima menit, rasa kontraksi timbul beberapa detik. aduh sakitnya,
aku menghela nafas sambil terus membaca shalawat nabi dan kalimat
tasbih. begitu sampai seterusnya.
Setelah beberapa meter jalan kaki dari rumah tepatnya di pertigaan
jalan, aku melihat sosok dari kejauhan sedang berdiri di tengah jalan.
seperti laki-laki atau entah perempuan aku tidak paham. Nampak atau
tidak aku juga tidak tahu. Sepertinya memakai daster panjang memandang
tajam ke arahku. Sosok itu berdiri di depan pabrik padi yang depannya
banyak ditumbuhi pohon bambu. Aku jadi sangat ketakutan karena memang
hari belum sepenuhnya terang. Aku sedikit mempercepat langkah kembali ke
rumah samb mengingat cerita orang jaman dahulu (katanya: kalau sudah
mau melahirkan itu diikuti mbak kuntixxxx). Ah itu hanya ketakutanku
saja. aku coba melupakan itu dan terus bershalawat dan membaca tasbih
sambil menahan kontraksi yang makin kuat.
Sampai di dalam rumah, ternyata suami sudah terbangun dan menceritakan
pada ibunya (ibu mertuaku) karena notabene saat itu memang aku masih
tinggal di rumah mertua. Aku kembali ke toilet dan ternyata ada gumpalan
darah hampir sebesar tahu. hem, kata orang jawa sih bilangnya ‘angkat
kidang’ jadi lebih sakit dari yang biasanya. aku tapi tidak bisa
membedakannya. yang ku tahu ya intinya sakit.
Sabtu pagi yang cerah itu, aku mandi dan bersiap untuk memeriksakan
kehamilanku. aku masih bisa berjalan dan beraktifitas lainnya karena
memang masih kontraksi ringan. Masih bisa menerima telepon juga dari
temanku untuk sekadar menanyakan kabar padahal aku sedang menahan
kontraksi. Pagi itu mertuaku menawariku sarapan tapi aku menolaknya
karena sudah tak selera makan. Segeralah aku berangkat diantar suamiku
ke klinik milik bidan yang biasa aku memeriksakan kehamilanku dengan
membawa tas berisi baju ganti yang telah kupersiapkan semalam. Sampai di
sana, aku disambut ramah. bu bidan belum berangkat dinas ke puskesmas
karena memang masih pagi. Aku dibawa keruang tindakan untuk diperiksa
bukaannya. Ternyata masih bukaan dua. aku diminta untuk pulang kembali.
Estimasi bu bidan kira-kira nanti malam kahirannya karena kehamilan
pertama biasanya durasi kontraksi jauh lebih lama dibandingkan kehamilan
kedua dan seterusnya. Aku disarankan untuk sering berjalan kalau masih
mampu kalau tidak ya istirahat saja dengan berbaring miring ke kiri
untuk mempercepat bukaan tapi kalau sudah tidak mampu menahannya boleh
segera di bawa ke klinik.
Sepulang dari klinik, aku langsung sarapan dan mengabari ibuku tentang
hal yang kualami. Tentu saja, beliau memberiku saran dan dukungan serta
doa. Hari itu aku masih mampu menahan kontraksi hingga malam menjelang.
Suamiku menanyaiku apakah aku masih bisa menahan atau tidak. Aku jawab
masih bisa. namun untuk malam kedua ini aku tak bisa tidur lagi ditemani
suamiku. Malam itu suamiku terjaga juga karena kuminta untuk selalu
mengelus punggungku setiap kontraksi datang. Makin larut malam makin
terasa sakit sekali. aku sampai ari tempat tidur untum merubah posisi.
Tidur miring ke kiri, jongkok berdiri, setengah jongkok, sujud, rukuk
dan segala posisi menahan sakit yang makin luar biasa menyerang. Aku
berharap hari segeralah cepat pagi.
Kini sudah minggu pagi. Aku langsung mandi air hangat dan bersiap untuk
berangkat ke klinik. Sungguh tak kusangka, bu bidan malah mendatangi
rumahku. Ternyata, dia baru saja memeriksa kondisi bayi yang baru lahir
dua hari yang lalu dan rumahnya tak jauh dari rumahku tinggal. Bu bidan
menanyaiku kenapa semalam tak datang padahal beliau sudah menungguku.
Aku jawab bahwa aku masih kuat menahan kontraksinya. Kemudian, aku
diperiksa bukaannya dan masih bukaan empat. Sungguh kemajuan yang
lamban. Bu Bidan bilang nanti siang segera dibawa ke klinik dan
mudah-mudahan bukaannya segera lengkap.
Aku menunggu sampai siang rasanya lama sekali. Sakit yang kurasa semakin menjadi-jadi.
Siang itu segera suami mengantarkanku kembali ke klinik dan ternyata
sudah bukaan lima. Aku diminta untuk menunggu bukaan lengkap di ruang
tindakan saja. Suamiku diminta bidan untuk membelikanku minuman semacam
isotonik (P_c_ri Sw__t) dan roti untuk menambah tenaga saat mengejan
nanti. Di situ, aku coba berjalan untuk mengalihkan rasa sakit namun
akhirnya kuputuskan untuk tidur miring ke kiri saja. Pembukaan makin
bertambah namun lamban. Magrib saja masih bukaan enam. Suamiku selalu di
sampingku bersama ibu mertua. Suamiku kuminta terus mengelus
punggungku. sakitnya sungguh luar biasa nikmat. Antara mulas sakit
perut, seperti sakit ketika menstruasi bercampur mulas hendak buang air
besar bertambah nyeri di pinggang. Rasa itu menyatu dan timbul dengan
jarak yang makin dekat sekitar dua menit sekali. Aku selalu menyebut
nama tuhanku kala kontraksi menyerang. dalam hati selalu bertasbih dan
bersalawat nabi memohon kelamcaran.
Bu bidan kembali memeriksa, berharap habis magrib bukaan sudah lengkap.
Namun myatanya belum lengkap juga dan hanya bertambah satu menjadi
tujuh. Terus menunggu dan di luar ruangan sudah ramai sekali teman-teman
suamiku datang memberi dukungan. bu bidan dengan sangat ramah
menenangkanku. Dia menjelaskan bahwa semakin banyak bukaan maka
kontraksi akan lebih sering lagi timbulnya. Sampai Isya tiba bukaan
masih delapan dan ketuban belum lekas pecah. Belum ada tanda-tanda
bayiku dalam perut hendak keluar padahal bu bidan memberikan perkiraan
paling lama habis isya nanti.
Keadaan makin menghawatirkan. Rasa mulas makin parah dan rasa ingin
mengejan makin kuat. Bubidan kemudian membelajariku cara mengejan yang
baik. Sudah hampir jam sepuluhan malam ketuban tak pecah juga padahal
pembukaan hampir lengkap. Aku hampir mau diinfus karena bubidan takut
kondisi tubuhku akan kehabisan tenaga saat mengejan nanti tapi aku
menolaknya karena aku sangat takut dengan jarum suntik. Selain itu, aku
juga masih merasa kuat dan sehat. Aku sudah banyak makan roti dan minum
po_ari sw__t sampai habis beberapa botol. bukan itu saja, aku juga
diberikan minuman air putih dari seorang ahli spiritual agar
kelahirannya lancar.
Kegelisahan mulai muncul. bu bidan membawa alat seperti gunting panjang
dan sepertinya hendak memecahkan ketubanku. Namun dia tak mengatakan hal
itu. dia hanya memintaku untuk sedikit menahan rasa sakit yang
diakibatkan oleh tindakannya.
benar saja, ketubanku dipecahkan. Saat itu mungkin sudah jam sebelas
malaman atau lebih. Bu bidanku yang ramah tiba-tiba memberikan
pernyataan yang mengejutkan padaku dan suamiku. ”Nanti kalau sudah jam
dua belas bayinya belum turun juga dan belum ada tanda-tanda melahirkan
langsung dirujuk ke rumah sakit aja ya mas. Siapkan saja pakaian
gantinya ditambah kemudian surat-surat dan kartu bpjsnya di bawa”.
Suamiku mengiyakan saja. Bu bidan menjelaskan lagi mungkin aku butuh
tindakan induksi yang tidak boleh dilakukan oleh bidan karena takut
gagal. Pilihan terakhir adalah di cesar misalnya nanti induksinya gagal.
Aku jadi sangat cemas berharap bayiku lekas lahir. namun apalah daya,
Sang Kuasa berkehendak lain. Minggu telah berlalu berganti senin. jam
dua belas malam keponakanku pulang mengambil surat yang telah
kupersiapkan beserta baju ganti tambahan. Suami dari bu bidanjuga
menyiapkan mobilnya untum mengantarkanku ke rumah sakit dengan jarak
sekitar satu jam lamanya.
Pukul 00.30 wib aku dibawa berangkat ke rumah sakit. di dalam mobil aku
merebahkan badan dipangkuan suamiku dengan lunglai dan terus menahan
kontraksi akib menjadi-jadi sambil mengejan tiap kontraksi tiba.
Sepertinya suami bu bidan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
aku tak peduli, rasanya aku ingin segera sampai rumah sakit. Terlintas
pikiran buruk di bayanganku bagaimana bila aku melahirkan ditengah jalan
atau bagaimana kalau aku meninggal dalam perjuangan hendak melahirkan
seorang anak. Astagfirullah. Aku buang pikiran buruk itu jauh-jauh.
Tak terasa satu jam berlalu sampailah aku di gerbang rumah sakit.
pikiran buruk lain mengusikku. Rasanya sangat kecewa sekali andai aku
berakhir pada meja operasi sesar. perjuanganku merasakan kontraksi
sia-sia saja. Namun apalah daya aku hanya memasrahkan diri pada sang
Ilahi karena Dialah yang memberiku rasa sakit dan Dia pulalah yang akan
menyembuhkanku.
Aku sudah tak mampu berjalan lagi rasanya. Turun dari mobil, aku
langsung disambut ranjang beroda. Suamiku menggotonku dengan
tergopong-gopong untuk meletakkanku pada ranjang tersebut dan
segeralah petugas serta suamiku mendorongku ke dalam ruang persalinan.
Sungguh rasa yang luar biasa, aku tak mampu menahan hasrat dari tubuh
untuk mengejan. Namun saat itu, bidan jaga masih sibuk mengurus
administrasi dengan menanyaiku terus menerus juga suamiku tanpa
memberikan tindakan pertolongan terlebih dahulu (sungguh miris sistem
rumah sakit di Indonesia: bukannya segera menolong pasien, tapi justru
mementingkan administrasi. Apakah nyawa tak lebih berharga dari uang?)
Sudahlah kita lupakan saja.
Setelah selesai mengurus administrasi, barulah para bidan mendekatiku
yang terkapar diranjang sambil terus menahan rasa sakit. Aku dipasangkan
infus, kemudian di suntik juga bagian tangan kirinya. Sementara tangan
sebelah kananku di ambil sampel darahnya. Tiga jenis suntikan yang sama
sekali tak terasa sakit lagi (padahal aku phobia jarum suntik). Mungkin
karena ada yang lebih sakit dari itu, dan yang kubayangkan hanya
berharap bayiku dapat segera normal. Tabung infusku juga diberikan
suntikan. Entah cairan apa yang dimasukkan karena bidan yang bertugas
tidak menjelaskannya. yang pasti memang dengan tindakan induksi. Selang
beberapa saat, waktunya aku untuk mengejan sekuat tenagaku dibantu tiga
bidan jaga yang adadi rumah saki tersebut dan satu bidan yang dari
klinik yang merujukku. Berarti empat bidan mengelilingiku membantu
proses melahirkan. Aku mengejan beberapa kali lagi dan akhirnya tangisan
bayi memecahkan suasana ketegangan pada pukul dua dini hari. [ajaib]
Rasa sakit sirna sudah. Berganti bahagia.
Itulah pengalaman pertamaku yang penuh dramatisasi, melahirkan secara normal dengan induksi.